Di Penghujung Tahun Itu

Penghujung  tahun 1996 Mas Dhono menyambangi saya di kos-kosan Mas Tri di bilangan M Yamin, Gunung Kelua. Bersama beberapa teman seangkatan saya menyimak cerita Mas Dhono. Cerita sederhana itu membuat saya tidak bisa memejamkan mata semalaman. Cerita perihal dunia kerja yang tidak pernah saya pelajari di bangku kuliah atau saya dapatkan dari dosen-dosen. Cerita yang menggelisahkan karena pilihan yang harus diambil menjadi konsekuensinya. Dan atas cerita malam itu, beribu terima kasih masih senantiasa terucap untuk Mas Dhono.  Hingga kini saya tidak bisa melupakannya.

Ketertarikan selanjutnya membawa saya kepada aktivitas di yayasan al ishlah  jalan delima. Di sanalah saya sering mendapati Mas Dhono mengerjakan buletin dakwah yang terbit sepekan sekali. Dan suatu ketika Mas Dhono berada di depan komputer itu berduaan dengan seorang perempuan. Perempuan yang baru saja dinikahinya. Mbak Rabiatul Adawiyah namanya. Seorang mahasiswi IAIN Samarinda yang kami biasa memanggilnya Mbak Rabiah saja. Ternyata Mas Dhono sedang membantu Mbak Rabiah mengerjakan skripsi.

Kemana-mana mereka sering terlihat berdua. Tidak jarang kami para bujangan ini diundang ke rumah pak Kyai Haji Abdul Wahab Syahrani, orang tua Mbak Rabiah yang seorang tokoh masyarakat.  Sampai mempunyai beberapa anak, mereka masih terlihat rukun dan mesra.

Ketika tahun berganti tahun teman-teman satu persatu meninggalkan kalimantan timur, saya berpisah dengan Mas Dhono. Sesekali bertemu ketika saya tugas ke kaltim atau Mas Dhono ke Jakarta dan mengajak saya main ke rumah orang tuanya di kedaung, ciputat.

Mas Dhono hingga kini tetap setia di kaltim. Tentu tidak susah untuk menemukan jawabannya. Salah satunya pasti karena ada Mbak Rabiah di sana. Karenanya setiap kali saya ke kalimantan timur, orang yang pertama kali saya ingat dan saya hubungi adalah Mas Dhono.

Bersama Mas hadidhono di penghujung tahun 2012 Begitu pula di penghujung 2012 ini. Awal Desember Allah mempertemukan saya kembali dengan Mas Dhono. Tetap humoris dan penuh semangat seperti dulu. Terpikir oleh saya untuk sekedar berfoto bersama dengannya dan ini adalah gambar yang saya sempatkan ambil di kantor balikpapan.  ”Mohon do’anya untuk kelahiran anak saya yang kedelapan insyaAllah akhir Desember ini”, ucap Mas Dhono seusai sholat maghrib di masjid komplek.

“Subhanallah”, seketika saya terbayang barisan alas kaki yang berjejer di depan pintu rumah Mas Dhono yang membuat tamu yang datang bertanya-tanya,” ini lagi ada acara ya?”.

Dan Mas Dhono dengan tersenyum menjawab, “bukan, ini adalah sandal anak-anak saya”.

Tidakkah Mas Dhono kerepotan dengan anak sejumlah itu?. Mungkin iya. Tetapi Mas Dhono bukanlah laki-laki yang tidak ada kerjaan. Anak-anaknya pun bukan anak yang tidak terurus. Keluarganya pun bukan keluarga yang berantakan. Bahkan tahun ini ia dinobatkan sebagai pegawai terbaik se kanwil Kalimantan Timur. Yang karenanya ia diundang ke kantor pusat Jakarta untuk menerima penghargaan atas prestasinya itu. Tentu ini semua tidak akan dapat dicapai seorang diri.  

Mmm, ya.. karena ada Mbak Rabiah disana.

 

sms istri mas dhono meninggal

Senin pagi ba’da shubuh itu saya terperanjat, “ Innalillah. Desember ini ana baru ketemu dgn beliau. Antum dpt info darimana?”

“Dr calon ana, beliaun istri mediator taaruf kami d balikpapan.”.

sms istri mas dhono meninggal

Ya Allah…. 
Allahummaghfirlaha warhamha wa’afiha wa’fu ‘anha wa akrim nuzulaha wawassi’ madkhalaha waj’alil jannata maswaha. Allahumma la tahrimna ajraha wa la taftinna ba’dahaa waghfirlana wa laha, birahmatika ya arhamarrahimin…

Dalam harapan yang besar akan diberikannya kekuatan kepada Mas Dhono menjalani ini semua, saya hanya kirim sms singkat,”Yg tabah, mas.”. 

Dan sore hari sms balasan singkat,

jawaban sms mas dhono

Pagi ini dalam mendung dan dingin karawaci, Mas Dhono mengirim sms surat kerinduannya yang mendalam kepada Mbak Rabiah

sms mas dhono surat untuk istri

January 12, 2013

Selamat Jalan Istriku, Engkau Layak Atas Karunia Syahid itu

‪17 tahun yang lalu, saat masih aktif menjadi penulis buletin dakwah, aku membaca nama pelanggan yang memesan buletin tersebut. Hj. Robiatul Adawiyah, pasti wanita yang sudah tua. Sudah naik haji dan namanya jadul sekali. “Akhi, seperti apa sih ibu Robiatul ini” tanyaku kepada Pak Marjani yang bertugas mengantar buletin. ” Ndak tahu, nggak pernah ketemu, yang saya tahu dia pesan buletin itu untuk di kirim  via bis ke Kotabangun”. Wah wanita yang mulia, mau menyisihkan uang untuk berdakwah kepada masyarakat di hulu sungai Mahakam. Tak lama kemudian setelah  kita menikah, Buletin Ad Dakwah dari Yayasan  Al Ishlah Samarinda diantar ke rumah. Ternyata wanita mulia tersebut adalah engkau istriku, bukan wanita tua seperti yang kukira. Melainkan mahasiswi yang aktif mengajar di Taman Al Quran.Istriku, beruntung  aku dapat memilikimu. Sudah beberapa pemuda kaya yang mencoba mendekatimu tetapi selalu kau tolak. Kelembutanmu dan kedudukanmu  sebagai putri seorang ulama besar menjadi magnet bagi para pria yang ingin memiliki istri sholehah. Kamu beralasan belum ingin menikah karena mau konsentrasi kuliah. Padahal alasan utamanya adalah kamu masih ragu dengan kesholehan mereka. Ketika Ustadzah Purwinahyu merekomendasikan diriku, tanpa banyak tanya kau langsung menerimaku. Hanya karena aku aktif ikut pengajian kau mau menerimaku, tanpa peduli berapa penghasilanku.Istriku, semua orang mengakui bahwa kau wanita yang tangguh. Jarang seorang wanita bercita-cita memiliki delapan anak sepertimu.  Melihatmu seperti melihat wanita Palestina yang berada di Indonesia. Jika bertemu dengan Ustadz Hadi Mulyadi, suami mba Erni ustadzahmu, pasti pertanyaan pertama kepadaku adalah, “ Berapa sekarang anakmu?”. Sering orang bertanya kepadaku, “ Gimana caranya ngurus anak sebanyak itu?” Mudah, rahasianya adalah menikahi wanita yang tangguh sepertimu.

Kehangatanmu membuat anak-anak kita merasa nyaman di dekatmu. Di saat kau lelah sepulang dari mengisi halaqoh atau ta’lim mereka segera menyambutmu dan melepaskan kekangenan mereka. Kadang lucu melihat mereka membuntuti kemana kamu pergi. Kamu ke dapur mereka bergerombol di sekitarmu, pindah ke ruang tamu, pindah pula mereka ke ruang tamu. Masuk ke kamar, berbondong-bondong mereka ke kamar. Sampai ada anak yang selalu memegang-megang bajumu dan kamu berkomentar,” Nih anak kayak prangko aja, nempeeel terus.” Jangan salahkan mereka, akupun memiliki perasaan yang sama dengan mereka.

Kadang jika cintaku meluap aku berkata padamu, ”Bener nih kamu ndak nyantet aku? Aku kok bisa tergila-gila begini sama kamu?” Kamu tersenyum dan berkata,” Cinta Umi ke Abi lebih besar dari cinta Abi  ke Umi, Abi aja yang ndak tahu.” Rasulullah bersabda,” Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat” (HR. Ahmad). Sungguh aku merasa telah mendapatkan segalanya dengan kau di sisiku.

Kepribadianmu yang mudah bergaul menjadikanmu disenangi oleh banyak orang. Kamal  berkata, “Umi terkenal banget di sekolah. Aku, Mba Aisyah, Mas Nashih, Hamidah, Hilma ini terkenal di sekolah karena anak Umi. Guru-guru kenal kami karena kami anak umi.” Aku ingat perjuanganmu menggalang beberapa orang tua murid ke kantor diknas untuk meminta tambahan kelas agar anak kita yang terlalu muda bisa diterima sekolah. Akhirnya SDN 006 Balikpapan mendapat tambahan kelas dan anak kita bisa bersekolah di sana. Seharusnya aku yang melakukan hal itu, bukan kamu.Aku terpesona dengan caramu menjalin silaturahim dengan keluarga besarmu. Ketika kita pindah ke Balikpapan, sering kakak-kakakmu menelpon menanyakan kapan  liburan ke Samarinda. Mereka rindu kepadamu. Kakakmu KH. Fachrudin, seringkali menelpon,” Kita mau ngadain acara ini, kamu ke Samarinda kah?” Sya’rani, kakakmu yang  sering bepergian ke Jawa, ketika mendarat di Balikpapan pun sering berkata,” Baru dari Jawa, mau ikut saya sekalian naik mobil ke Samarinda?” Keponakan-keponakanmu pun sering bertanya, “ Acil Robiah kapan ke Samarinda.” Jika kita liburan ke Samarinda, maka kemeriahan meledak begitu mendengar suaramu mengucapkan salam. “ Wah, Haji Robiah dari Balikpapan.”

Aku kagum dengan semangatmu melaksanakan amanah dakwahmu. Sering kerinduanmu kepada keluargamu tertahan karena ada amanah dakwah yang harus kamu kerjakan. ”Sebenarnya akhir pekan ini keluarga besar kumpul. Ada acara keluarga. Tapi ada halaqoh ini dan majelis talim ini jadi ndak bisa ke Samarinda.” Semoga Allah SWT memasukkanmu ke dalam barisan orang-orang yang berjuang menegakkan agama ini.

Kesibukanmu berdakwah memang menyita waktumu. Tapi aku ridho karena kau tetap komitmen untuk mengurus rumah tangga dengan baik. Aku ridho ketika PKS berdiri, kamu bergabung dan berdakwah bersama mereka. Ku lihat kau begitu menikmati hidupmu yang mungkin bagi pandangan sebagian orang sangat melelahkan.Kamu juga aktif mengisi kajian siroh shahabiyah di Radio IDC FM. Ketika engkau ingin berhenti karena hamil dan mengajukan ustadzah lain, mba Irna yang mengasuh acara menolak dan mengatakan sebaiknya cuti saja dan sementara akan diputar ulang rekaman yang terdahulu. Saya tahu mereka pun telah jatuh cinta kepadamu.

Saat Ustadz Cahyadi mengadakan pelatihan keluarga, beliau meminta para peserta menulis tentang pasangannya. Aku terkejut ternyata engkau mengenaliku dengan baik. Engkau tahu makanan yang kusukai dan kubenci, teman-teman yang kuanggap shahabatku, karakter-karakterku, dan teman-teman Halaqohku. Diam-diam engkau memperhatikanku. Terimakasih telah memahami diriku.

Pernah kau mengatakan bahwa kau ingin naik haji bersamaku. Aku mengatakan bahwa kamu sudah naik haji sehingga tidak wajib lagi. Kalau aku punya uang aku akan mengajak anak kita naik haji bukan kamu. Kamu berkata, “Aku akan kumpulkan uang daganganku agar bisa naik haji bersamamu.” Kamu pernah bercerita bahwa saking nikmatnya berada di Kota Mekah, kamu pernah berusaha tukar kloter dengan orang lain agar bisa bertahan lebih lama di kota Mekah.

Istriku, aku suka dengan caramu berbakti kepadaku. Ketika ustadz Mulhadi mengajakku mendirikan SDIT Nurul Fikri Balikpapan kau pun mendukungku. Padahal kau tahu bahwa ini akan kembali mengurangi jatah uang belanja untukmu. Bahkan kau berkata,” Aku akan alihkan infaq-infaq yang selama ini ke lembaga zakat ke Nurul Fikri.” Selama ini kau memang menyisihkan uang transport dari mengisi majelis-majelis ta’lim untuk menunjang dakwahmu.  

Istriku, aku menikmati sentuhan bibirmu ke pundakku sambil memelukku di saat  kita naik motor berdua. Mungkin itu caramu menunjukkan kesetiaanmu. Aku  tersanjung dengan gayamu menunjukkan cemburumu. Aku merindukan caramu menegurku jika engkau melihatku lalai dalam urusan agama kita. Aku merasa bahagia saat kau memujiku. Aku merasa hebat ketika engkau bermanja kepadaku.Aku salut dengan kecintaanmu terhadap ilmu. Setiap ada ta’lim yang mendatangkan ustadz yang berkualitas  kau berkata, “ Harus duluan nih biar dapat duduk di depan.” Sayang, karena begitu banyaknya anakmu terkadang kau terhambat untuk berada di depan.  Pernah kau begitu sedih karena tidak dapat menghadiri  ta’lim yang diisi DR. Samiun Jazuli. Terlintas di dalam pikiranku, kelak aku akan membiayaimu untuk melanjutkan kuliah S2 agar kau bahagia.

Kau juga begitu bersemangat mengikuti tatsqif (Kajian Tsaqofah Islam) yang diadakan oleh PKS. Ketika ada ujian tatsqif, kau berusaha mengerjakan soal-soal tanpa berusaha menyontek. Tiba-tiba kau mendengar peserta ujian yang lain di sebelahmu saling berbisik tentang jawaban soal yang engkau tidak bisa mengerjakannya. Kamu pun menulis jawaban tersebut. Sepulang ke rumah engkau begitu menyesal dan gelisah. Engkau merasa berbuat curang karena mengerjakan soal dari mendengar percakapan orang lain. “Gimana nih Mas, aku sudah nyontek?” tanyamu. Aku jawab sambil bercanda,” Telpon dosennya, minta dicoret jawabanmu yang dapat dari hasil mendengar itu”. Ternyata engkau benar-benar menelpon ustadz Fahrur agar jawaban atas soal tersebut dicoret saja. Itu yang sering kulihat darimu, begitu takut akan dosa-dosamu. Aku bangga padamu istriku.

Istriku, hal yang sering membuatku bergetar adalah di saat melihat engkau sholat. Begitu khusyuk dan menjaga adab. Tidak pernah aku melihatmu terburu-buru di dalam sholat. Aku menikmati melihat caramu menghadap Tuhanmu. Selelah apapun dirimu kamu selalu berusaha membaca Quran satu juz perhari. Engkau juga tidak ingin meninggalkan dzikir harianmu. Haru rasanya saat-saat melihatmu tertidur dengan Quran masih berada di tanganmu.

Sering aku berangan-angan aku akan membahagiakanmu kelak saat anak-anak sudah besar. Aku akan mengajakmu berjalan-jalan ke kota wisata. Aku akan membelikanmu perhiasan walaupun sekedarnya.

Karaktermu yang tidak pernah meminta memang membuatku lalai memperhatikan kebutuhanmu. Bahkan motor pun tidak pernah kubelikan. Motor butut yang kau pakai adalah motor yang memang telah kau bawa dan kau miliki sejak masih gadis. Aku yakin bahwa kebersihan hatimulah yang memancarkan aura persahabatan dari wajahmu. Banyak yang mengatakan kepadaku, ”Beliau adalah tempat saya menyampaikan curhat.”

Terkadang kau terlambat pulang dari mengisi pengajian, ketika ku tanya kenapa terlambat, kau menjawab, “ Kasihan ada yang pingin curhat, jadi dengerin dia dulu. Semoga  Allah segera kasih dia jalan keluar.” Saya yakin mereka curhat kepadamu karena mereka merasakan kebaikanmu.  Kamu sering memujiku, “Suami yang pintar”. Ku lihat, kamulah yang lebih pintar mengaplikasikan teori ke dalam praktek dunia nyata.

Sebenarnya aku banyak belajar darimu. Kamu pintar sekali memulyakan orang lain. Kamu sering memberikan sesuatu kepada tetangga-tetangga kita. Terkadang aku malu karena yang kau berikan adalah hal-hal yang sederhana. “ Malu ah ngasih ke tetangga segitu. Nggak level buat mereka.” Ternyata sikap perhatianmu kepada tetangga inilah yang membuat mereka mencintaimu. Kamu mengatakan kepada pembantu kita, “Kumpulkan teman-teman yang lain, nanti saya yang membimbing bacaan Qurannya.”

Dengan sabar kamu melatih mereka membaca Quran. Kau pun membelikan peralatan memasak sebagai hadiah kepada mereka yang lulus dan melanjutkan bacaan ke jilid berikutnya. Pernah kau melihat salah seorang di antara sedang berlatih mandiri di rumahnya. Kau berkata,” Bahagianya aku Bi melihat mereka mau melatih bacaan secara mandiri.” Sampai terucap dari mulut pembantu kita, “Bu, saya ini mendapat hidayah dari tangan Ibu lho.”

Terkadang aku lupa untuk memberikan uang belanja, ketika kutanya engkau menjawab, ”Aku pakai uang daganganku”.

Kau kadang membelikanku baju sebagai hadiah ulang tahunku. Aku memang seorang yang berprinsip minimalis, terkadang jika ada barang yang menurutmu harus dibeli, aku mengatakan bahwa itu tidak perlu dibeli, kita da’i tidak usah terlalu mengejar kesempurnaan. Seperti biasa kau pun mengalah dan berkata,” Ya sudah pake uang aku aja.”

Ketika engkau mengalami pendarahan saat melahirkan anak kita yang ke delapan, engkau mengalami step. Sungguh hancur hatiku melihatmu menderita.  Ketika dokter mengatakan butuh tiga kantung darah, aku segera keluar berlari menuju PMI tanpa sempat mengambil alas kaki. Aku sangat takut kehilangmu.

Ketika diberitahu bahwa putra kita telah meninggal, aku sudah tidak peduli lagi, “Tolong selamatkan istri saya dok.” Setelah dioperasi kau sempat tersadar, aku tidak tega untuk mengatakan bahwa putra kita telah meninggal. Aku tidak ingin kau tahu bahwa kandungan yang sangat kau cintai dan sering kau elus-elus dengan penuh cinta telah mendahuluimu.  Dokter mengatakan bahwa kondisi sangat kritis, biasanya kondisi ini berakhir dengan kematian. Dengan kesedihan yang terus mengelayuti aku berkata, ”Umi tidak usah ngomong apa-apa, semua abi yang urus, Umi nyebut Allah saja.” Aku berharap seandainya Allah memanggilmu, maka ucapan terakhirmu adalah Allah. Walau tidak ada suara yang ku dengar, kulihat mulutmu menyebut nama Allah dua kali.” Saat itu aku bernazar, aku pun bertawashul dengan segala amalku agar Allah memberikan kesempatan agar engkau masih bisa bersamaku. Dan ternyata anak-anak kita bercerita bahwa saat itu di rumah mereka juga bernazar agar ibu  mereka selamat.

Dengan sisa harapan yang tersisa di hatiku, aku berusaha membangkitkan semangatmu,”Cepat sembuh,anak-anak kita menunggumu di rumah.” Engkau mengangguk-angguk.Ternyata Allah SWT sangat mencintaimu. Allah SWT ingin memberimu karunia syahid. Kematianmu karena melahirkan putra kita menunjukkan bahwa Allah ingin memberikan yang terbaik untukmu.  Sebagaimana Rasulullah mengatakan bahwa wanita yang mati karena melahirkan termasuk orang-orang yang mati syahid.Seorang shahabatmu, Ustadzah Mahmudah, menelponku,” Mba Robi itu kalau saya perhatikan sangat khusyuk kalau memimpin doa atau mengaminkan doa. Kalau berdoa, saat kalimat Wa amit ha ala syahadati fi sabilik (matikanlah jiwa kami dalam syahid di jalan-Mu) sering saya lihat mba Robi meneteskan air mata. Ternyata kita memang tidak boleh meremehkan kekuatan doa.”  Pak Emil tetangga kita berkata, ”Saya tidak pernah berinteraksi dengan almarhumah. Hanya istri saya yang bergaul dengannya. Tapi kepergiannya membuat saya merasa kehilangan sampai dua hari” Mungkin dia shock karena melihat istrinya terguncang.

Ustadzah Sujarwati berkata,” Saya mengisi pengajian dekat SMPN 10, mereka bercerita bahwa almarhumah ustadzah Robiah yang merintis majelis ta’lim ini. Mereka semua kemudian menangis karena teringat istri sampeyan.”

Banyak yang terkejut dengan kepergianmu. Ada yang baru mendengar kematianmu, datang ke rumah untuk kemudian menangis karena kehilanganmu.

Hari kematianmu menjadi saksi atas kesholihanmu. Begitu banyak yang datang untuk memberikan penghormatan kepadamu. Ustadz Muslim mengatakan,” Sahabat-sahabatnya dari pesantren Al Amin, Madura sudah siap-siap mau beli tiket untuk ke Balikpapan, tapi mendengar jenazah akan di bawa ke Samarinda mereka tidak jadi datang.” Beberapa ustadz datang dari Samarinda. Bahkan Ustadz Masykur Sarmian, Ketua DPW PKS pun datang dari Samarinda dan menjadi imam yang mensholatimu. Aku pun melihat ustadz Cahyadi Takariawan, penulis buku dari Yogya, hadir di masjid itu. Mungkin Allah sengaja mengutus orang-orang sholih tersebut untuk menyempurnakan pahalamu. Motor-motor memenuhi jalan masuk ke komplek kita. Seseorang dengan heran mengatakan bahwa kemarin kepala kantor meninggal di komplek ini yang datang nggak sebanyak ini. Ini cuma ibu rumah tangga kok banyak banget yang datang.

Sesudah di sholatkan di masjid Balikpapan, engkaupun dibawa ke Samarinda. Sampai di masjid Ar Raudhah, Aku melihat KH. Mushlihuddin, LC Koordinator Qiroati untuk Kalimantan hadir di sana. Kamu sering berkata bahwa kamu sudah menganggap beliau, gurumu membacaQuran,  seperti ayah sendiri. Kecintaanmu kepada Quran membuat kamu mencintai beliau yang selalu komitmen berjuang menegakkan Al Quran di muka bumi.  Sering kamu mengatakan bahwa kamu kangen dengan gurumu, ustadz Mushlih. Segera aku meminta beliau untuk menjadi imam sholat jenazah untukmu.

Kakakmu, Ibu Mursyidah berkata, ”Kepergiannya persis seperti ayahnya, KH. Abdul Wahab Syahrani. Disholatkan dari masjid ke masjid.” Sebelum meninggal beliau berwashiat untuk dikuburkan di Kotabangun. Karena washiat itu beliau disholatkan di tiga masjid di tiga kota oleh murid-murid beliau. Pertama disholatkan di Islamic Centre Samarinda, kemudian disambut oleh Bupati Kutai Kartanegara ( Beliau adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia Kab. Kukar) dan disholatkan di masjid agung Tenggarong, kemudian disholatkan kembali oleh murid-murid beliau di masjid Kotabangun.Dengan lelehan airmata aku ikut memandikanmu, mengangkatmu, memasukanmu ke liang lahat. Seseorang berkata,” Antum duduk saja biar yang lain saja.” Tidak, Aku tidak mau kehilangan kesempatan ini. Aku sudah kehilangan kesempatan membahagiakanmu di dunia. Aku sudah kehilangan kesempatan membalas dengan baik pelayananmu kepadaku. Biarlah hari ini aku melayanimu walaupun sekedar mengurus jasadmu.Terimakasih istriku, selama hidupmu kau selalu berusaha tidak merepotkanku. Ketika aku ke bengkel untuk menambal ban, aku mengabarkan kematianmu dan memohon doa untukmu. Tukang tambal ban, mendoakannya dan  berkata,” Istri sampeyan sering ke sini sendiri, menuntun sepeda motor untuk menambal ban, atau kadang ganti ban motor”. Sekuat tenaga ku tahan airmataku. Aku tahu sebenarnya itu adalah tugasku. Kubayangkan adakah wanita lain yang mau  menuntun motor ke bengkel untuk menambal ban karena tidak ingin merepotkan suaminya. Mungkin kamu saat ini telah tersenyum bahagia bercanda bersama Abdullah, putra kita. Mungkin kamu sudah bertemu dengan ayah ibumu yang sangat kamu cintai. Walaupun aku betul-betul kehilanganmu, aku tahu bahwa karunia syahid yang Allah SWT berikan kepadamu adalah yang terbaik untukmu.

Istriku, aku menulis ini untuk menumpahkan rindu yang bergejolak di hatiku. Aku juga berharap agar orang yang membacanya mau meringankan lidahnya untuk mendoakanmu. Aku berharap tulisan ini dapat membalas jasamu kepadaku. Sungguh betapa lambatnya hari-hari berlalu tanpamu.

Ingin rasanya aku segera masuk ke surga agar dapat bertemu kembali denganmu. Selamat jalan Khadijahku.

Balikpapan, hari ke sembilan belas tanpamu di sisikuYang bersyukur mendapatkanmu

Suamimu,


Hadidhono B. Hartono
Tidak ada istirahat bagi seorang mu’min kecuali jika telah berada di surga.

 

Teriring do’a semoga Allah swt mengampuni dosa-dosa Mbak Rabiah, menyelamatkannya, memaafkannya, membaguskan tempat tinggalnya, meluaskan kuburnya, memandikannya dengan air, salju dan embun, hingga bersihlah ia dari dosa dan kesalahan sebagaimana kain putih yang dibersihkan dari kotoran, memasukkannya ke dalam syurga, melindunginya dari azab kubur dan azab neraka serta memberikan cahaya dalam kuburnya.

Saya bersyukur dalam empat tahun kurun masa kehidupan saya, telah dipertemukan dengan keluarga Mas Dhono dan Mbak Rabiah. Keluarga dakwah yang sarat dengan keteladanan.

 

#Gerimis Karawaci, CR 130
Awal tahun 2013

Di Penghujung Tahun Itu Di Penghujung Tahun Itu Reviewed by anisvanjava on Januari 13, 2013 Rating: 5

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.