Melihat Ke Bawah

Siang itu, ketika saya hendak membeli makan di warung Bu Yah, di basement KPDJP, tiba-tiba ada suara yang memanggil saya.

Saya menoleh. Ternyata, seorang ibu yang dulu saya kenal—beliau bekerja sebagai petugas kebersihan di kantor saya yang lama, di sebuah gedung di Pancoran. Kini, setelah adanya restrukturisasi di tempat kerjanya, beliau dipindahkan ke KPDJP Gatot Subroto.

“Mas… sekarang saya dipindah ke sini. Di bagian taman,” katanya lirih, sambil sedikit tersenyum, walau jelas gurat lelah dan gundah tak bisa ia sembunyikan.

Ia mulai bercerita. Tentang pekerjaannya dulu, saat ia merasa nyaman membersihkan ruangan-ruangan kantor, menyapa para pegawai, bahkan sering dimintai tolong untuk membelikan sarapan, makan siang, atau camilan.

Kini, tugasnya berbeda. Ia harus bekerja di taman—tempat yang keras dan terbuka, dengan rekan-rekan kerja kebanyakan laki-laki. Bukan hanya fisiknya yang diuji, tapi juga hatinya. Bukan tempat yang mudah bagi seorang perempuan seusia beliau.

“Kalau bisa pindah, saya mau, Mas. Tapi… saya bingung, harus minta tolong ke siapa…”

Saya terdiam. Tak bisa berkata banyak, apalagi bertindak. Saya hanya bisa mendengarkan, dan dalam hati berdoa: Ya Allah… berikanlah yang terbaik bagi ibu ini, sesuatu yang barangkali belum ia duga, belum pula saya bayangkan.

Saat ibu itu pergi melanjutkan tugasnya, saya masih terpaku. Diam-diam, hati saya diguncang oleh sebuah renungan yang dalam.


Ibu itu… bekerja keras demi keluarganya.

Bagaimana dengan ibu kita sendiri? Atau istri kita? Mungkinkah mereka pun pernah, atau sedang, berjuang dalam diam, memikul beban yang tak selalu mereka ceritakan?

Berapa banyak peluh yang telah tercurah demi sesuap nasi, demi lembar demi lembar rupiah yang kadang tak seberapa?

Dan kita, yang mungkin duduk nyaman di ruang ber-AC, berapa banyak dari kita yang sungguh-sungguh bersyukur?

Sudahkah kita menyadari bahwa kenyamanan yang kita nikmati hari ini, boleh jadi adalah doa-doa panjang orang tua kita dahulu? Atau mungkin hasil jerih payah orang lain yang tak pernah menuntut pamrih?


Mari sejenak menunduk. Jangan biarkan leher ini pegal karena terlalu sering mendongak ke atas, membandingkan diri dengan yang lebih tinggi.

Karena bisa jadi, rasa syukur itu justru tumbuh saat kita berani menengok ke bawah—melihat mereka yang tetap tersenyum meski hidup menuntut lebih.

Semoga kita dijauhkan dari hati yang lalai, dan diberi kelembutan untuk selalu bersyukur.

Melihat Ke Bawah Melihat Ke Bawah Reviewed by anisvanjava on Mei 06, 2009 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.