Tangan Di Atas

Sejatinya pengumuman pekanan itu dibuat dan disampaikan untuk menginformasikan kegiatan yang akan berlangsung pada pekan tersebut. Sehingga materi pengumuman itu bervariasi, berubah-ubah, seiring dengan dinamisnya aktivitas organisasi. Dalam sekali pengumuman pun perihalnya beragam jenisnya.

Tetapi sudah beberapa waktu ini ada satu perihal yang dalam pengumuman itu tidak pernah berubah. Bahkan sampai pekan ini sudah terhitung bulanan informasi itu tidak berubah. Bentuknya reminder, pengingat kepada para anggota organisasi untuk tidak lupa membayar iuran bulanan, dan segera melunasi kewajiban bulan-bulan sebelumnya meskipun dengan cara mengangsurnya. Karena tidak ada istilah pemutihan atas tunggakan kewajiban iuran tersebut.

Ya, iuran wajib.
Iuran yang dikenakan sesuai dengan besarnya penghasilan. Bila tidak ada penghasilan, maka cukup membayar infaq saja, sebesar 5000 rupiah.
Tetapi mengapa bisa nunggak berbulan-bulan?

Mungkin cara berfikir kita yang sudah terbalik dalam memposisikan kewajiban iuran bulanan ini. Posisi yang benar --- menurut teman saya sang perencana keuangan ---, adalah: bayarlah kewajiban-kewajiban kita dimuka, pada saat awal kita menerima penghasilan. Jangan sisihkan diakhir, karena hampir dapat dipastikan akan teralokasikan untuk kebutuhan lainnya sehingga kewajiban menjadi tidak tertunaikan.
Apabila kita tunaikan di awal, maka berapapun penghasilan yang kita terima, maka kewajiban iuran bulanan itu akan tertunaikan. Toh, bila penghasilan besar maka iurannya akan besar, dan sebaliknya apabila kecil, maka iurannya pun akan kecil. Dan yang namanya kewajiban, maka iuran itu adalah sesuatu yang harus ditunaikan. Sekarang atau nanti, ya kan ?

Sepintas ini hanya nampak seperti masalah pengaturan alokasi di awal atau di akhir saja. Tetapi meremehkan penunaian sebuah kewajiban, adalah kesalahan yang fatal.

Baru-baru ini menteri agama menyampaikan data bahwa peluang zakat di indonesia yang mayoritas negara muslim ini, mencapai 100 trilyun rupiah. Suatu jumlah yang sangat besar. Dan sampai saat ini, menurut beliau, potensi itu baru tergali sebesar 1,5 trilyun.

Lalu kemana yang 98,5 trilyun?
Bukankah nilai sebesar itu berarti nilai dari kewajiban yang tidak ditunaikan oleh pelakunya?
Bukankah nilai sebesar itu seharusnya adalah milik orang lain yang telah diambil tanpa hak?
Bukankah pernah dalam suatu masa ketika kewajiban itu tidak ditunaikan, maka seorang yang mengaku muslim akan diperangi?

 

*****

tangan di atas Secara sederhana bisa kita telusuri benang merah kekeliruan berfikir dan bersikap ini.
Banyak orang mempunyai keinginan supaya menjadi yang terbaik dengan memerankan fungsi sebagai ‘pemberi’ daripada ‘penerima’.
Prinsip yang dipergunakan adalah: “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”.

Akan tetapi keinginan untuk menjadi tangan di atas ini banyak dimaknai sebagai posisi yang mapan dengan penghasilan besar. Sehingga apabila seseorang merasa penghasilannya belum besar, maka ia tidak pernah merasa tangannya berada di atas.
Apalagi bila peribahasa yang ia pakai adalah “ Di Atas Tangan Ada Tangan”.  he .. he.. he.. :-)

Kalau iuran yang wajib saja dianggap remeh karena alasan terpakai untuk menutupi kebutuhan, maka sampai kapan tangan kita akan berada di atas untuk memberikan sesuatu yang bersifat sukarela?  ***

Tangan Di Atas Tangan Di Atas Reviewed by anisvanjava on Maret 29, 2011 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.