*) kisah dan perenungan tentang kebebasan dan penghambaan
Setelah seringkali teringat bahkan bermimpi bertemu dengan sahabat, maka kemarin saya sempatkan betul untuk bisa menengoknya. Lagi pula sudah lama saya tidak silaturahim kepadanya, sejak terakhir saya memeluknya beberapa bulan yang lalu.
Saat ini tidak bisa sesering dulu kami bisa bertemu. Bahkan untuk menelpon pun tidak bisa setiap saat, melainkan harus membuat janji terlebih dulu. Petugas penjaga yang disiplin menjalankan tugasnya secara seremonial, akan rajin menggeledah pengunjung yang datang. Tidak ketinggalan stempel penjara di cap di punggung tangan kanan dan kiri.
Alhamdulillah, seperti tidak berkurang suatu apapun pada diri sahabat saya. Keceriaannya, semangatnya, kesehatannya dan juga akrabnya pembicaraan sebagaimana waktu-waktu sebelumnya.
Sekeping keharuan bersisi sebangun dengan keping kebahagiaan dan kerinduan.
Cukup panjang masa ketika masalah demi masalah mengguncang keluarganya. Saya tidak meragukan ketegarannya sebagai seorang lulusan STPDN. Keyakinan yang mendalam terhadap ajaran agama yang dianutnya membuatnya semakin militan. Namun keluarga yang melingkupinya dengan kasih sayang, tidaklah mudah untuk menerima ketidakadilan yang disangkakan. Sedangkan orang tua, sanak family, anak dan isteri bukanlah sesuatu yang harus dilepas dari bagian hidupnya.
Ya, ini adalah kisah tentang seorang narapidana…
Kasus yang dituduhkan kepadanya menjadi sangat saya hafal, sesering ia berbagi rasa dalam setiap kesempatan. Sangat hafal pula ketika saya mengatakan, “
Tidak semua penghuni penjara ini adalah orang yang bersalah. Sebagaimana, tidak semua orang di luar sana yang lepas dari ancaman jeruji, adalah orang benar.
Dan, silih berganti warta media semakin menguatkan pernyataan ini.
Melimpahnya tetangga dan jamaah masjid yang datang bersimpati kepadanya, cukuplah bercerita tentang kisah seorang terpidana yang masyarakat dengan bangga meneladaninya. Sekaligus, meluapnya ketidakrelaan warga melepasnya menuju tempat yang tidak selayaknya.
Tidak ada penyesalan apalagi ratapan, untuk sesuatu yang harus diperjuangkan. Terlebih lagi, belum saatnya menuntut keadilan, di tempat para pedagang hukum dan fatwa.
Menjadi tidak ada bedanya apakah ia dipenjara atau bebas mengelana. Sungguh, tempat ini telah meninggikan derajatnya. Kerinduannya pada kajian-kajian keislaman, ia perjuangkan dengan menghadirkan suasana itu melalui telepon selulernya. Suara tausiyah dari sahabat di luar penjara sana, cukup menyemangati dan menemani saat-saatnya yang sunyi.
Demikianlah ternyata, tidak ada yang berubah dalam diri sahabat saya. Hingga statusnya sebagai narapidana, bagai lelucon saja pelengkap sandiwara. Tidak lebih dari itu.
Sesungguhnya bangunan perkasa tidak akan bisa memenjarakan jiwa-jiwa mereka yang merdeka. Sebaliknya, berapa banyak jasad-jasad yang merdeka, terkekang oleh jiwa-jiwa mereka yang terpenjara.
Dan inilah kisah tentang seseorang yang bukan narapidana…
Tinggal di pemukiman warga, tetapi tidak ada bedanya apakah ia ada atau tiada. Karena memang masyarakat tidak pernah bisa menjawab perihal apakah gunanya ia berada di sini. Ia tidak ada ketika tetangga sedang memerlukannya. Ia tidak ada ketika warga sedang bersama dalam jamaah masjid dan musholla. Keterangan warga mengenainya sangat singkat, bahwa ia berangkat pagi buta dan pulang malam gelap.
Inilah sejatinya, narapidana dalam penjara rumah pribadi. Tahanan kota tanpa perlu penjagaan. Tak perlu dicekal, karena ia hanya ada di dalam rumah dan kantor saja. Tidak lebih dari itu.
Kiranya, status narapidana bisa menimpa siapa saja. Tetapi Allah swt akan memperlihatkan yang sebenarnya. Suatu saat. Wahai sahabatku, kita semua sedang menunggu saat-saat itu.
Kegelisahanpun segera menjadi suasana batin di hari-hari ini.
Apakah aku sudah selayaknya menjelma sebagai manusia merdeka, ataukah pada kenyataannya adalah seorang narapidana?
*******
Bekas stempel penjara samar-samar masih terlihat ditangan, membuat setiap suapan makanan, menjadi tidak senikmat sebelumnya.
Tidak ada komentar: