Ini bunga kamboja dari makam desa saat lebaran hari pertama. Sederhana, kecil, tapi mengandung rasa yang tak bisa kutuliskan dengan kata. Bagi masyarakat desaku, bunga ini bernuansa spiritual yang hanya ada di makam. Bunga ini bukan sekadar bunga. Ia hadir dengan nuansa yang berbeda—sebuah keheningan, sebuah aura yang hanya hidup di tanah pemakaman. Karenanya pohonnya tidak pernah ditanam di rumah-rumah sebagai hiasan bagaikan villa di Bali. Di sini, kamboja adalah milik para leluhur. Milik yang telah pergi.
Bahkan bagi anak-anak bunga ini mengingatkan pada seramnya kuburan. Begitu pula bagiku. Bunga ini, dengan harum yang sunyi, seolah menyimpan cerita dari dunia yang tak kasat mata. Kuburan dan kamboja, bagi kami, tak terpisahkan—dan keduanya cukup untuk membuat langkah kecil anak-anak menjauh.
Namun sepeninggal ayahku, bunga ini semakin menampakkan keindahannya. Bunga ini tak lagi terasa menyeramkan. Indah dan tidak menyeramkan seperti dulu, meski ia tumbuh di kuburan. Kini ia bak sekuntum bunga di pekarangan rumah sendiri. Barangkali karena di sinilah pusara ayah berada.
Makam muslim dukuh kecil menjadi tempat healing yang melengkapi itinerary pulang kampungku. Tempatku melepas rindu, tempatku menyapa orang-orang yang kemarin pernah kuajak bercengkerama dengan bersahaja. Kembali kusapa dengan doa kesejahteraan semoga terlimpah kepada pamanku, bibiku, tetanggaku dan handai taulanku yang kini telah terbaring di pemakaman ini. "Kalian adalah pendahulu kami dan kami akan menyusul kalian."
Betapa sebentarnya kebersamaan di dunia ini. Padahal aku belum selesai melanjutkan cerita-ceritaku yang kemarin, rencana-rencana yang belum terlaksana, dan banyaknya keinginan-keinginan yang belum kesampaian. Setiap noktah pada kelopak bungamu mewakili setiap penyesalan atas peluang-peluang baik yang hingga hari ini telah terlewatkan, atas kebaikan yang tak sempat kubalas, atas pelukan yang tak sempat kuberi, atas kata maaf yang terlambat terucap.
Angin yang sepoi mengirimkan seuntai bunga kuning. Pohon kamboja yang sangat tua ini adalah pencatat terbaik. Ia adalah saksi zaman—pencatat paling setia atas siapa yang datang, siapa yang kembali, siapa yang terlupa. Hari ini, ia berbaik hati untuk meminjamkan catatannya. Tapi tak banyak waktu yang kupunyai untuk membacanya, karena ia pun tak lama lagi akan layu.
Baiklah. Barangkali aku harus sering-sering ke sini. Bukan saja untuk mendapati dan mengagumi bungamu nan indah ini, tapi agar semakin bisa kudengar lebih jelas lagi pertanyaanmu kepadaku, "sudahkah bekalmu cukup untuk kembali?".
#ziarah kubur
#makam muslim, awal syawal 1443h

Tidak ada komentar: