Haji Mabrur dan Tetangga yang Kelaparan

Pak Polani datang malam-malam. Langkahnya pelan, tapi matanya seperti menyimpan banyak hal yang belum sempat dibagikan. Sebelum duduknya sempurna di kursi plastik di teras rumahku, ia langsung berkata,

“Jadi haji mabrur itu nggak mudah, Pak.”

Aku belum sempat menyuguhkan teh hangat, tapi kalimatnya sudah menyengat seperti jahe. Ia meneruskan, “Haji zaman dulu itu dilihat dari lingkungan. Ada nggak tetangganya yang kelaparan? Ada nggak orang yang perlu bantuan? Gimana bisa berharap mabrur kalau di sebelah rumahnya ada yang merintih kelaparan.”

Aku diam. Lampu teras yang kuning remang-remang membuat suasana jadi seperti pengakuan dosa. Dan malam itu, Pak Polani memang sepertinya sedang mengaku—meski tanpa dosa.


Ternyata, ia baru pulang dari rumah seorang pejabat. Bukan sembarang pejabat, tapi yang dulu naik tahta berkat keringatnya. Dulu, saat masa kampanye, Pak Polani itu semacam jenderal lapangan: masuk gang-gang sempit, rumah-rumah reyot di bantaran kali disambangi, banner digantung, stiker ditempel, janji-janji disebar lebih banyak dari selebaran diskon minimarket.

Mulutnya fasih menyebutkan visi-misi sang calon, seperti orang yang hafal ayat kursi. Kadang-kadang malah lebih hafal dari doa makan.

Dan semua itu berbuah. Sang calon jadi pejabat. Jabatan mentereng, gaji naik, aset naik, rumah bertambah, mobil bertingkat. Laporan kekayaannya mencatat angka-angka yang, kalau disebut di masjid, bisa bikin jamaah lupa rukun shalat.

Tapi Pak Polani? Ia tetap di rumahnya yang satu-satunya. Itu pun sertifikatnya sudah digadaikan. Untuk biaya sekolah cucu, katanya. Dapat 25 juta, cicilan bulanan 800 ribu. Kalau dihitung-hitung, lunasnya mungkin pas anak cucunya naik haji. Mungkin.

Hidupnya makin sederhana. Orang kampung sini bilang, “Sudah miskin, makin miskin.” Tapi orang-orang tetap hormat padanya. Soalnya dia ramah, suka bantu, dan paling rajin datang ke pengajian, meski kadang tidak sempat mandi sore.


“Dia nangis, Pak,” katanya malam itu sambil menatap tanah, seakan ada sesuatu yang hilang di situ.

“Siapa?”

“Ya si pejabat itu. Katanya uang miliaran buat haji kemarin hilang. Tidak jadi berangkat. Visanya nggak keluar.” Tahun ini penyelenggaraan haji memang tersiar berita yang carut marut.

Aku hanya mengangguk. Mau tertawa, takut dosa. Mau bersimpati, tapi perutku mulai lapar. Memang gelar haji bagi seorang pejabat adalah sebuah nilai plus. Dengan titel haji yang tersemat di depan namanya, nilai jual dirinya semakin naik. Sangat prospektif untuk ambisi berikutnya.

“Orang bisa punya miliaran, bisa mau haji berkali-kali, tapi visa nggak keluar juga,” ucapnya pelan. “Sementara saya? Mau minta bantuan buat beli beras aja nggak tega. Sudah kayak pengemis.”

Lalu ia diam. Aku juga.

Malam makin larut. Angin menyusup lewat celah-celah dinding, membawa semacam pahit yang tidak berasal dari kopi. Jam dinding hampir pukul sebelas kurang lima menit.


Entah komentar tentang haji mabrur itu lahir dari kekecewaan atau keikhlasan. Tapi malam itu, di teras kecil dengan kursi plastik reyot, aku belajar bahwa kadang yang paling layak disebut mabrur justru adalah orang yang tak pernah sampai ke Mekah, tapi tak pernah lupa bertanya: “Siapa yang hari ini belum makan?”

Aku berdiri dan masuk ke dapur. “Saya lihat dulu ya, Pak. Siapa tahu masih ada sisa nasi goreng tadi siang.”

Perut memang lapar. Tapi malam itu, aku rasa yang lebih lapar sebenarnya adalah rasa keadilan.



Hujan mulai reda
#suatu malam di bulan dzulhijjah


#ahlan wa sahlan para jamaah haji.
#semoga menjadi haji yang mabrur

Haji Mabrur dan Tetangga yang Kelaparan Haji Mabrur dan Tetangga yang Kelaparan Reviewed by anisvanjava on Juni 11, 2025 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.