Dalam bahasa Indonesia, ungkapan ini bisa dimaknai sebagai: “Kalau tidak mau, ya sudah.” Terdengar sederhana, bahkan datar. Namun sesungguhnya, ungkapan ini menyimpan makna yang dalam. Ia lahir bukan dari jiwa yang putus asa, apalagi menyerah, melainkan dari hati yang telah bersusah payah mengetuk pintu-pintu hati—dan pada akhirnya berserah kepada Sang Pemilik Hidayah.
Orang merespon ajakan kepada kebaikan dengan berbagai cara. Ada yang terang-terangan menolak. Ada yang acuh tak acuh. Ada pula yang menyanggah dengan nada bercampur sinis, “Endak a?”, atau, “Masa, sih?”, disusul gerutu lirih dalam hati, “Ee... dikandani kok ngeyel,”—gaya khas Kiai Anwar Zahid.
Namun sejatinya, "emoh ya wis" bukanlah bentuk frustrasi atau pesimisme. Ia adalah puncak dari keikhlasan setelah segala daya dan upaya telah dikerahkan. Saat seruan telah dilantunkan, nasihat telah disampaikan, dan ajakan telah diulang-ulang—namun tetap saja tidak digubris, tidak dijawab, atau bahkan dicemooh. Maka yang keluar bukan kemarahan, tapi pengakuan lembut penuh tawakal:
“Aku tidak bermaksud kecuali melakukan perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan pertolongan Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.”(QS. Hud: 88)
Ada getir di hati, tapi bukan karena harga diri dilukai. Yang lebih dominan justru adalah kesedihan—kesedihan yang mengingatkan sabda Baginda Nabi ﷺ,
“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang tidak mau.”
Ya... ternyata, memang ada yang tidak mau. Jadi... emoh ya wis.
Namun jangan salah. Ungkapan ini bukan keluar dari seseorang yang merasa diri paling benar, lalu meninggalkan orang lain dalam penghakiman. Bukan pula dari jiwa yang berkeras menyebut sesat, bid’ah, atau penghuni neraka seraya menggerutu,"emoh ya wis".
Tidak. Sebab dalam setiap doanya, ia masih terus memohon:
“Allahumma inni as-alukal huda...”
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk...”
Ia tidak menyerah. Ia tidak berhenti berharap. Karena dalam dirinya terpatri firman Allah:
“Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: ‘Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?’ Mereka menjawab: ‘Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa.’”(QS. Al-A'raf: 164)
Kelak, cukup sudah hujjah di hadapan-Nya:
“Ya Allah, telah aku sampaikan.”
Jika satu pintu tertutup, ia tak akan membatu dalam kecewa. Ia akan sabar mengetuk pintu-pintu lain, sebab ia yakin—hidayah milik Allah, dan Allah tak pernah menutup jalan bagi siapa pun yang mengetuk-Nya.
Emoh ya wis—bukan karena benci. Bukan karena merasa ditolak. Tapi karena dalam hatinya masih terus bergema doa lembut:
“Ya Allah, ampunilah seluruh kaum muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat, baik yang hidup maupun yang telah wafat.”
Dan masih ada di antara kita yang berkata, “Lebih baik dipaksa masuk surga daripada sukarela masuk neraka,” sebagaimana ditulis Mahroji Khudori dalam bukunya.
Tapi jika akhirnya tetap ada yang menolak?
Ya... emoh ya wis.

Tidak ada komentar: