"Alhamdulillah, saya bangunkan tadi istri dan anak-anak saya. Nasinya sudah saya berikan kepada mereka. Terima kasih, mereka makan dengan lahap sekali. Kebetulan mereka tadi pada belum makan", pak Azmi sang marbot laporan dengan berbinar matanya. Senyum tulusnya mengembang di wajah yang penuh lelah tapi bahagia. Ucapannya sederhana, tapi menyisakan getar di dada. Malam takbiran Idul Adha baru saja usai. Jam dinding di masjid syuhada ini sudah menunjukkan waktu menginjak dinihari. Jamaah dan remaja masjid baru saja menyelesaikan takbiran di malam pertama lebaran idul adha ini. Mereka telah pula kenyang dengan nasi goreng dan teh manis hangat yang dihidang bagi para peserta takbiran. Beberapa bungkus yang masih tersisa itulah yang tadi dibawa pak Azmi marbot untuk anak dan isterinya. Marbot masjid yang tak pernah absen menjaga rumah Allah, dalam senyap, dalam sepi, dalam letih yang tak pernah ia perhitungkan.
Aku tak tahu apakah para jamaah menyadari kalau ucapan pak Azmi tadi menyiratkan bahwa anak-anak dan isterinya tertidur dalam keadaan perut lapar. Tak ada makan malam di rumah mereka. Hingga bungkusan sisa nasi goreng itulah yang membuat mereka bisa menyambut besok pagi lebaran dengan perut terisi, dan hati yang sedikit lebih tenang.
Dan pak Azmi... bahagianya bukan karena ia ikut kenyang. Tapi karena ia bisa membuat keluarganya tersenyum dalam makan bersama, walau hanya dari nasi sisa yang dibungkuskan. Tapi, sudahlah. Setidaknya malam ini mereka bisa lebih nyenyak lagi tidurnya. Besok pagi lebaran kurban.
Makan bersama. Sekilas tampak remeh. Tapi di baliknya tersembunyi pelukan tak kasat mata dalam sebentuk nasi, lauk dan sayur di piring seadanya. Momen makan bersama adalah momen yang sangat bermakna bagi sebuah keluarga. Ia adalah momen kebersamaan untuk mensyukuri nikmat Ilahi dalam setiap suapan dan tegukan. Momen yang selalu dikenang bagi seorang ayah ketika melihat isterinya tersenyum karena uang belanja telah menjadi masakan yang lezat di meja makan. Momen yang selalu dikenang oleh seorang ibu di tengah peluhnya melihat masakan hasil jerih payah olahannya yang dihidangkan ludes disantap anak-anaknya. Momen yang membahagiakan bagi anak-anak ketika menikmati masakan ibunya. Dan tidaklah ada masakan di dunia ini yang bisa menandingi kelezatan masakan sang ibu, tidak peduli betapapun nyinyirnya orang lain berkomentar. Dan bagaimanapun keadaan masakan yang tersaji di meja makan adalah hal yang istimewa. Bahkan meski itu adalah satu-satunya meja yang ada di rumah, makan bersama adalah momen penuh kenangan.
Bagi mereka yang hidup dalam keterbatasan, makan bersama bukan rutinitas, tapi hadiah. Maka jangan heran ketika seorang anak sekolah dasar seketika teringat keluarganya ketika ia menerima satu box makanan dari program makan siang gratis dari pemerintah. Ia menangis bukan karena menunya yang tak sesuai selera. Keberadaan makanan itu pun merupakan sesuatu yang istimewa baginya, di tengah hari-hari bersama keluarganya yang kadang makan kadang tidak. Justru ditengah termenungnya ia di depan nasi box yang tak kunjung dijamahnya itu ia berucap, "ibu dan adikku makan apa hari ini?". "Bagaimana aku bisa makan enak seperti ini tanpa bersama keluarga?" barangkali itu pula yang ada dipikirannya.
Makan bersama adalah momen berlimpahnya keberkahan. Bersyukurlah ketika ada makanan yang bisa dimakan bersama. Tetapi bukan hanya perihal lezat, gurih atau nikmatnya makanan, rezeki yang berkah juga mengingatkan akan asal dari sesuatu yang halal, yang dengan itulah berharap akan dijauhkan dari api neraka. Dengan khusyuk do'a yang terpanjat,"Ya Allah, berkahilah kami atas apa yang Engkau rezekikan kepada kami, dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka".
Hingga kini keindahan momen makan bersama keluarga itu belum tergantikan. Meski ada salah seorang anggota keluarga yang kini telah nun jauh terpisah keberadaannya, saat makan bersama mereka kembali hadir bersama dalam ingatan. Bahkan, jika memungkinkan keceriaan keluarga dihadirkan dalam teknologi di dunia maya. Saling menyapa bertanya dan berkabar, tersenyum dan tertawa.
Hari ini, pak Azmi telah tiada. Allah lebih mencintainya, dan memanggilnya pulang. Masjid Syuhada kehilangan suara langkah yang dulu menyapu lantainya sebelum fajar menyingsing. Tak akan ada lagi senyum penuh syukur dari sudut pintu masjid selepas adzan dikumandangkan. Tak akan ada lagi tangan yang sabar menyuguhkan air kepada jamaah pengajian. Yang tertinggal hanya kenangan—dan doa. Kiranya Allah berkehendak mengumpulkan kembali pak Azmi bersama anggota keluarganya di akhirat. Untuk menikmati hidangan-Nya dan mereka makan bersama.
Makan bersama... bukan lagi karena lapar. Tapi karena cinta yang tulus, karena amal yang telah ditabur dengan diam, karena air mata yang pernah jatuh dalam sujud-sujud panjangnya di malam-malam sepi.
Aku sedang belajar dari satu piring sederhana yang mampu menyatukan keluarga. Bahwa sebaik-baik harta adalah yang bisa dibagi. Dan sebaik-baik hidup, adalah yang membuat orang lain ikut tersenyum, meski kita sendiri sedang menahan lapar.
#tpu kedawung wetan, mengantar kepergian pak Azmi*
#kisah nyata dengan nama yang disamarkan.

Tidak ada komentar: