Matahari kebon sirih terik.
Keringat menetes dari ujung jenggot tipis pendemo. Teriakan lantang untuk turunnya mas sutiyoso, yang terlanjur menjadi simbol kebatilan bagi FPI, juga bagi kami. Koko betawi dan leher berkalung sarung si pitung, setia menemani naik turunnya jakun menelan ludah yang sudah lama mengering.
Perjuangan adalah pengorbanan.
Kerontangnya kerongkongan mengharap hujan di musim kemarau. Setia berjam-jam.
Prasangka baiklah yang kemudian membuatku mau minum beberapa teguk air, pemberian sekelompok orang dari dalam van. Pun teman-temanku yang mulai juga menikmati kue bungkus daun pisang.
Sialan !. Satu orang temanku muntah-muntah. Lalu, laki-laki berkopiah hitam itu pun roboh, dengan mulut berbusa. Satu, dua orang lagi temanku sempoyongan untuk kemudian jatuh.
“hentikan makan kalian !!!”. “seseorang telah meracuni kita !”.
Penasaran pendemo bercampur kesumat di sabtu siang itu tidak menemukan ujungnya. Karena orang bermobil van itu telah lenyap ditelan bumi. Dari sanalah racun itu berasal. Dari segerombolan orang yang tidak seorangpun dari kami mengenalnya.
******
Hari ini.
Siang panas di atas tanah retak bekas gempa semalam, berlomba teriknya dengan sengatan matahari kebon sirih.
Aku masih setia di naungan tenda dengan beberapa karibku.
Kami bukanlah gerombolan pengecut yang menyatroni kebon sirih tempo hari dengan kue beracunnya, meski kami datang dengan berkarung-karung makanan bagi korban bencana.
Kami hadir sebagai ksatria. Karenanya rompi berlogo partai di dada dan punggungku ini, menjadi ujung tombak bagi siapa yang meminta kejelasan.
Mungkin dua orang berjubah panjang dan bersorban yang sedang menggesa menuju tenda ini bermaksud sama.
Ternyata ucapanlah yang telah memperjelas maksudnya, “Kalian mengangkat bendera terlalu tinggi. Kalian riya. Kalian beramal untuk diketahui banyak orang. Kalian menolong korban bencana untuk mencari pujian. Partai kalian ingin dikenal sebagai yang paling bersih dan paling peduli. Kalian sok suci !!!”.
Tangan sobatku lebih dulu menahan pundak kananku, sebelum ku beranjak. Ia telah hafal apa yang akan terjadi ketika aku menghampiri dua orang itu, dengan wajahku yang telah terbakar.
“biar aku jelaskan”, katanya.
Reruntuhan rumah dan pohon tumbang, lebih memalingkan mukaku dari pada kedua makhluk berjubah panjang dan bersorban itu.
Dalam belenggu iman, amarahku dengan puasnya menyerapah, “MUNGKIN KEDUA MANUSIA SOMBONG ITU PERLU MENGGELEPAR MERASAKAN RACUN KEBON SIRIH TERLEBIH DAHULU, DAN KEMUDIAN PENASARAN KESUMAT TAK BERUJUNG, BARULAH MEREKA TAHU : BUAT APA AKU MENANCAPKAN BENDERAKU DI ATAS RETAKAN TANAH GEMPA INI !!!“.
Tidak ada komentar: