Tersandera

Mas Totok seketika terdiam. Padahal sebelumnya ia lancar menyampaikan ‘tausiyah’ nya perihal perlunya bekerja di kantor dengan rajin, karena itu adalah ibadah.
Semula beberapa kalimat pujian kepada mas Totok disampaikan oleh yang mendengarnya. Sampai saatnya ada yang nyeletuk, “ ah, ibadah bagaimana kalau di tempat kerja kita ini kita sering mengutip pungutan. Bukankah itu haram”. 

Belum selesai kekagetannya, kalimat berikutnya meluncur deras, “bahkan mas Totok sendiri juga suka menerima uang-uang yang begituan”.
Telak sudah. Mas Totok diam seribu basa. Lidahnya kelu. Semua geraknya salah. Mati kutu. Seandainya bisa diputar ulang, ia akan memilih menelan kalimat-kalimat tausiyah yang barusan diucapkannya. Mungkin saja mas Totok pernah menerima uang yang dimaksud, meskipun hanya sekali. Atau bisa jadi mas Totok menerima uang itu karena perasaan tidak enak atau tidak kuasa untuk menolaknya, tetapi ia sendiri tidak pernah mempergunakannya untuk kepentingan sendiri, melainkan untuk diinfakkan.
Yang dilihat orang hanyalah, “mas Totok menerima uang yang begituan”.

Tidak ada satu pun kalimat yang salah dari nasehat yang disampaikan mas Totok. Tetapi karena ada perilaku yang tidak nyambung dengan apa yang diucapkannya, membuat semua kalimat itu tak bermakna selain memakan tuannya sendiri.

Masih patut disyukuri apabila kejernihan hatinya mengantarkan pada perasaan malu, walaupun rasa malu itu sangat berat dan menyanderanya. Karena di negeri ini teramat sulit dihitung jumlahnya manusia yang telah kehilangan rasa malunya. Berbicara yang tidak sesuai dengan perilakunya, melontarkan janji yang takkan pernah ditepatinya, memperebutkan amanah yang sudah diniatkan untuk dikhianatinya. Manusia seperti ini lebih hina daripada seekor binatang sekalipun.

Masihkah rasa malu itu bersemayam dalam diri kita ?

حَدِيْثُ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ اْلإِيْمَانِ.

(أخرجه البخارى فى : 2 – كتاب الإيمان : 16 باب الحياء من الإيمان)

Ibnu Umar ra. berkata bahwa Rasul saw. melewati (melihat) seorang laki-laki kaum Anshar yang sedang menasihati saudaranya karena malu, maka Rasul saw. bersabda, “Biarkanlah ia karena sesungguhnya malu itu bagian dari iman.” (Imam Bukhari: Kitab “Iman” bab: Malu Bagian dari Iman.”).

Rasa malu mampu mengendalikan seseorang dari melakukan perilaku binatang. Malu bila menyuruh orang lain berbuat kebaikan, tetapi dirinya sendiri tidak melakukannya. Malu bila menganjurkan orang lain untuk menjaga kebersihan, tetapi dirinya tidak pernah memelihara kebersihan. Malu bila berceramah perihal akhlak mulia, sementara dirinya sama sekali tidak menjaga pandangan dan pergaulannya. Malu bila ia melarang anaknya merokok, sementara ia menjadi hamba rokok yang setia. Malu bila melantangkan perjuangan tegaknya syariah dan kebangkitan islam, sementara ia jarang bangkit ketika adzan dikumandangkan.

Rasulullah berkata dengan jelas, “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu”.
Inilah rasa malu yang merupakan kesempurnaan dari keimanan seseorang. Rasa malu yang akan memberikan dorongan kuat bagi diri untuk menyingkirkan sandera-sandera yang membelenggu kehidupan. Hingga pada akhirnya kalimat kebenaran itu akan bisa lantang dikumandangkan.

Bahkan untuk masuk surganya Allah swt pun, kita perlu memastikan bahwa langkah kita ke arah sana tidak terbelenggu oleh sandera-sandera itu.

"Demi jiwaku yang berada di Tangan-Nya! Seandainya ada seorang laki-laki terbunuh di jalan Allah, kemudian ia dihidupkan lagi, lalu terbunuh lagi, kemudian dihidupkan lagi dan terbunuh lagi, sedang ia memiliki utang, sungguh ia tidak akan masuk surga sampai utangnya dibayarkan." (HR. An-Nasa'i, hadits hasan).

Tersandera hutang ? :-).
Jangan anggap remeh.

Bismillahirrohmannirrohiim ”Allaahumma innii a’uudzu bika minal hammi wal hazani wa a’uudzu bika minal /ajzi wal kasali wa a’uudzu bika minal jubni wal bukhli wa a’uudzu bika min ghalabatid daini wa qahrir rijaal.”

Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyanyang“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan dan kedukaan. Aku berlindung kepada-Mu dari lemahnya kemauan dan rasa malas, dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat penakut dan kikir. Aku berlindung kepada-Mu dari lilitan hutang dan kekejaman manusia.”

( HR Abu Dawud)

Amin.

 

-----------------------------------

Novotel Jogja #818

 Novotel-Hotel-Yogyakarta1 Wifi Novotel Jogja_2

Tersandera Tersandera Reviewed by anisvanjava on Mei 04, 2012 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.