Makanan bukanlah sembarang makanan. Makanan ini adalah makanan hotel berbintang, yang termenung dengan heningnya ditengah sejuknya kota hujan. Hanya saja, lidah saya juga bukan sembarang lidah. Lidah ini adalah lidah yang tumbuh dari asupan masakan ibu saya, yang aseli made in orang desa.
Tidak ada dalil yang harus diutarakan ketika lidah desa tidak menemukan kecocokan dengan masakan hotel berbintang, selezat apapun cita rasa produk kuliner itu. Toh itu hanya masalah beda madzhab semata. Bertahan dua hari saja bagi lidah saya untuk secara lugu mengakui, bahwa dia telah eneg terhadap bumbu resto itu.
Ini bukanlah karma si kabayan yang pernah saya tertawakan, karena dia tidak mematikan kran air di musholla. “Saya kira air ini berasal dari mata air”, katanya nyengir. Tanda tanya marbot musholla tidak menemukan jawabannya.
Air yang berasal dari mata air pun tidak pernah dilihat si marbot. Yang ia tahu hanyalah tugasnya sebagai seorang penjaga sebuah musholla di bilangan benhill: Harap Menutup Kembali Kran Setelah Selesai Berwudlu.
Sebaliknya, kabayan juga baru pertama kalinya melihat ada pancuran ber kran. Sepanjang pengetahuannya, pancuran mata air dari sungai di desanya, tempat ia sering mandi dan berwudlu, tidak pernah di tutup. Terus mengalir sepanjang hari.
Maka menjelmalah saya sebodoh kabayan, mendapati toilet yang tidak berkran. Tidak berkutik bersikap di hadapan toilet yang hanya dilengkapi segulung tisu itu.
Akhirnya memang harus saya akui, bahwa saat ini saya adalah penganut madzhab dari seorang ustadz. Ustadz yang belum lama berselang mengeluarkan fatwa kepada toilet serupa yang dijumpainya, dengan sebutan: Toilet Kafir !
@novotel, room 263
Tidak ada komentar: