“InsyaAllah nggak apa-apa, di mana-mana kan masih bumi Allah juga”, jawab perempuan itu tegas.
Teman saya girang lamarannya diterima dengan mulus. Bahkan sang perempuan meyakinkan bakal calon suaminya itu tentang kesiapannya untuk senantiasa setia, kemanapun. ” Di bumi Allah”, katanya. Padahal bumi Allah itu luas. Lebih luas dari Indonesia tentunya.
Indonesia saja sangat luas. Ketika saya ke papua, seorang teman berkelakar, “memangnya, itu masih di Indonesia" ?”. He.. he.. :-) bisa aja.
Memang bukannya tanpa alasan ketika ada yang mengatakan seperti itu. Karena memang dari pusat ibukota negara, letak Jayapura itu berada paling ujung timur. Kurang lebih delapan jam perjalanan lamanya yang ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang. Sedangkan dengan kapal laut, bisa satu minggu atau lebih. Jayapura itu berbatasan dengan papua nugini.
Entah karena jauhnya ini, maka sangat berbeda sekali keadaan alam, masyarakat dan pembangunan di Jayapura.
November 2006, pertama kali saya menginjak tanah papua di sorong. Kemudian meneruskan perjalanan ke Jayapura. Mengingatkan saya kepada keadaan desa saya sewaktu SD dulu.
Ada kambing yang berkeliaran di bandara sentani. Tidak hanya larangan untuk merokok, di Jayapura juga ada larangan makan pinang dan larangan meludah sembarangan.
Masyarakat yang nasrani membangun salib yang besar-besar di beberapa tempat. Mungkin ini pula salah satu yang terbayang ketika disebut Jayapura.
Petang tadi untuk kedua kalinya saya menyapa papua. Bernostalgia dengan Jayapura yang penuh kesan. Keadaan jalan dan bangunan belum banyak yang berubah. Sebagian besar masih saya hafal. Penginapan tempat dulu saya menginap masih seperti yang dulu. Jalan pintas depan ke kantor seberang juga tidak berubah. Dan wartel tempat saya sering menelpon dulu … oh, sekarang sudah tidak ada lagi. Sudah diratakan dengan tanah, sepertinya akan didirikan sebuah bangunan besar di sini.
Wartel ?
Ya, saya sering ke wartel karena HP saya waktu itu tidak dapat sinyal. Dan sekarang ….. Oh, alhamdulillah sudah ada sinyalnya.
Jayapura memang jauh dari pusat ibukota. Tetapi itu tidak menyurutkan langkah si Har --teman SMP saya-- untuk ke sana. Meskipun tanpa seijin orang tua, dan meskipun ia adalah seorang perempuan. Bukan karena semata-mata Jayapura masih bumi Allah, tetapi ia lebih memilih ‘melarikan diri’ ke sana daripada mengikuti keinginan orang tuanya untuk dinikahkan dengan lelaki pilihan orang tuanya. --- ini tidak seperti siti nurbaya. :-)
Alhamdulillah, saya sempat ketemu si Har di Jayapura setelah dua puluh tahun lebih tidak ketemu. Saat ini si Har sudah punya rumah, ladang dan tanah yang luas. Di papua. Di bumi Allah.
Jayapura memang jauh dari pusat ibukota. Selisih waktu yang dua jam dibandingkan dengan tangerang, membuat keadaan biologis perlu diatur kembali ritmenya. Begitu pula pagi hari, ketika jam di HP masih menunjuk pukul 03.00 dinihari, keadaan di luar sudah terang. Saatnya sholat shubuh.
Sebentar lagi semburat merah matahari akan menerangi salib besar di puncak bukit Jayapura City.
Di sini. Di bumi Allah swt.
Rembulan Purnama Papua, September 2011
Aston Hotel Jayapura, #804
Tidak ada komentar: