“ Laki-laki itu tidak boleh menangis. Menangis itu cengeng. Hapus segera air mata itu.”
Apa daya sang lelaki itu tak kuasa membendungnya, seperkasa apapun ia telah mencoba tegar. Ia telah gagal. Namun ia memang memilih untuk gagal. Gagal untuk tidak meneteskan air mata.
Sejenak sikap telah ternyatakan. Lelaki ini adalah lelaki perkasa yang telah membelah belantara menjadi hamparan takwa. Darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah jelata yang menjelma menjadi darah pejuang atas titisan sang guru. Karenanya tekad akhir hayat dan tetes penghabisan adalah harga mati. Air mata adalah pantangan utama bagi seorang lelaki pejuang untuk diteteskan. Namun malam itu, lelaki ini tidak kuasa melanggar pantangannya. Di hadapan murid kesayangannya, matanya merembang mengiringi kisah sang guru yang dituturkannya. Sang guru telah gagal dalam medannya. Sang guru telah terhenti langkahnya. Sang guru telah mati perjuangannya, ketika nyawa masih ada dalam jasadnya. Baginya, sang guru telah tiada.
Lelaki ini segera menyekanya. Hanya beberapa saat saja, ia persembahkan air mata atas jasa sang guru. Dan itu telah cukup.
Matinya sang guru tidak akan menyurutkan jiwa pejuangnya.
Kini, air mata itu entah siapakah tuannya. Ketika perempuan ini pun adalah pejuang. Di negeri kezaliman, tidak dikenal ketidakberdayaan. Kemungkaran bukan hanya milik setan. Begitupun kepiluan dan belas kasihan bukanlah dominasi perempuan. Sekali jalan pejuang teretas, lelaki dan perempuan adalah sama di medan.
Air mata dan rintihan batin mematri perkasanya ruhani.
Kini, satu pejuang telah keluar dari cipinang. Satu lagi menggurat sejarah di pemuda. Deretan lainnya masih tegar dengan panji perjuangannya. Setiap masa adalah rintisan penghancuran kemungkaran dan kezhaliman. Keadilan harus diperjuangkan.
Matilah sebagai pejuang.
“Orang yang diam dari kebenaran ketika melihat kemungkaran, laksana setan bisu !”.
@Nagoya Batam #615
-----
mengenang kisah pejuang dan perjuangan.
Tidak ada komentar: