Diorama Mereka Yang Telah Tiada

Ini kenangan tentang para sahabat yang pernah lekat dalam perjalanan.
Hidup dalam perbedaan ruang di tepi sebuah zaman yang kian akhir. Pak Andri, Pak Giri dan Mas Nur.

“Antum duluan saja, akhi. Bareng teman-teman teruskan sampai puncak. Ana di sini dulu”, pak Andri berucap dini hari itu meringis menahan sakit pada sekujur kakinya. Badannya kuyup. Gerimis ini memaksa kami terus bergerak bila tidak ingin menggigil kedinginan. Tongkat yang kuulurkan dan kutarik membantunya untuk merayapi punggung halimun pun mulai dilepaskannya.

“Tidak, pak. Kita berangkat bersama-sama dan akan mencapai puncak halimun ini juga bersama-sama. Sebentar lagi kita akan sampai. Akan saya tarik pak Andri dengan tongkat ini, dan teman-teman mendorong dari bawah”, kataku sedikit keras, memecah kesunyian tebing empat puluh lima derajat ini.

Tidak terlihat kelompok lain dari sini. Sepertinya kami adalah kelompok terakhir. Juga aku tidak yakin ada seseorang yang masih di bawah sana.  Beberapa orang petugas sweeping yang semula mengikuti dari belakang, satu persatu melewati kelompok kami. Kemudian mereka pun hilang dalam gelap dan kabut.

Menjadi tidak mungkin kami meninggalkan pak Andri terpisah dari kelompok. Segala sesuatunya bisa terjadi di hutan berpenghuni harimau ini. Keputusan harus kuambil sebagai ketua regu. Dan keputusan itu adalah membawa regu ini tetap utuh sampai puncak. Entah berapa lama lagi.

Memang ini kedua kalinya aku sambangi halimun. Mungkin karena alasan ini pulalah mereka menunjukku sebagai ketua regu. Tetapi ini tidak berarti menjadi lebih ringan. Tugasku adalah terus mendaki, berjalan paling depan menyusuri petunjuk jejak supaya tidak tersesat. Bila kemudian kami mendapati hamparan orang terbujur di tanah yang tidak rata, itu belumlah cukup membuat kami berhenti, kecuali sebuah teriakan “kita sudah sampai puncak !”.

Tidak cukup kuat aku untuk bertakbir. Gumam dalam hatiku yang mewakili menggaungkan asma Allah yang maha besar sembari dalam kabur menatap semua anggota grup lengkap. Senyum dan candaan pak Andri sayup terdengar.

Aku tidak hirau. Dan sekejap kemudian jasadku membujur menempel tanah puncak gunung ini.

 

Pak Andri Bila ada orang mengumbar cemoohannya mengatakan bahwa semua pejabat adalah koruptor, maka akan kutuntut ia karena telah mendzalimi  sosok pak Andri. Seorang pejabat keuangan yang kesederhanaannya memotivasi yang melihatnya, melebihi kata-kata yang diucapkannya. Seorang pegawai yang berpamitan kepada isteri dan anaknya bahwa ayahnya berangkat bekerja ke kantor dan akan pulang larut malam, menyambung dengan aktivitas dakwah yang dicintainya.

Pak Andri kini telah tiada, namun semangat itu tidaklah lenyap.
Allahummaghfirlahu Warhamhu Wa’afihi Wa’fuanhu.

 

****

Kita membuat program ini untuk membuat teman-teman tambah semangat, akhi. Bukan sebaliknya. Jadi mohon bantuan Antum untuk terus memantau bila ada hal-hal yang bisa mengganggu tujuan program ini”, kata pak Giri malam itu di ruangan dua kali tiga dalam sebuah rapat kaderisasi.

Sekuat tenaga aku menahan supaya mata ini tidak terpejam, dan tetap mencermati kata-kata pak Giri yang terucap dengan cedal karena stroke yang pernah dideritanya.

Stroke itu tidak mampu menahannya untuk tetap memenuhi panggilan-panggilan dakwah siang dan malamnya. Kalaulah ketidak tegaan orang yang melihat cukup menjadi alasan kuat baginya untuk beristirahat sejenak, maka jangan sekali-kali sampaikan kepadanya karena ia pasti akan bersikeras. Bersikeras pula ketika ia menunjukkan sms kepadaku,” Akhi, ana paling tidak suka bila ada kader yang seperti ini”.

Pasalnya sms itu berisi ungkapan seorang teman untuk meminta keringanan, karena merasa sudah senior dalam dakwah ini.
Pribadi pak Giri yang sangat egaliter menjadikannya merasa sangat tabu untuk menyebut predikat dalam dakwah dan memilah-milah tugas.

Pak Giri Keteguhan diri inilah yang dipilih oleh Allah swt sebagai cara terbaik baginya untuk menghadapNya. Dini hari saat-saat ia berkhalwat dengan Rabbnya, Allah pun berkenan memanggilnya.

Pak Giri kini telah tiada, namun semangat itu tidaklah lenyap.
Allahummaghfirlahu Warhamhu Wa’afihi Wa’fuanhu.

 

***

Jeda malam itu dalam setengah kematian tidurku, mereka bertemu dalam indahnya sebuah taman kota. Duduk berdampingan dari sebelah kanan, almarhum pak Andri, almarhum pak Giri dan Mas Nur.

Mmm.. tetapi bukankah mereka tidak saling mengenal karena jarak yang memisahkan mereka. Ataukah karena pak Andri dan pak Giri sudah sama-sama meninggal sehingga bertemu dalam taman syurga?

Tetapi, bukankah waktu itu mas Nur masih hidup?

Mungkin itu tidak terlalu penting. Toh, bunga tidur ini sudah cukup indah menghiasi malamku. Tidak ada takwil apapun. Cukuplah kehormatan ini kurasakan, karena mereka bersedia hadir dan berkumpul bersama, meski hanya dalam mimpi.

Dik, saya nitip rumah. Saya mau ke jawa silaturahim ke keluarga”, pinta mas Nur.

Ya, mas. Nanti sepulang kantor saya langsung ke rumah mas Nur”.

Sebelumnya, sudah beberapa hari ini aku tidur di rumahnya. Karena mas Nur minta ditemani. “Lagi pula, bujangan ngapain tidur di rumah sendirian, dik. Di sini saja bareng saya”, begitulah seringnya mas Nur menyindir saya yang masih belum menikah juga. Keluarga mas Nur sudah terlebih dahulu ke jawa.

Dini hari, secapek apapun mas Nur ia pasti akan bangun dari tidurnya. Kemudian ia membangunkanku. Dan sebelum aku sempurna menajamkan pandangan, mas Nur sudah berada di atas sajadah memulai rekaat-rekaat panjangnya.

Berhari-hari aku bersama mas Nur, jam tubuhku mulai mempunyai alarm untuk bangun dini hari. Sampai suatu malam aku merasakan ada yang kurang.

Ya ! mas Nur tidak membangunkanku. Tetapi kemanakah gerangan, di tempat tidur pun ia tidak ada. Mm.. ternyata ia sudah bersila khusuk di atas sajadah. Entah sudah berapa rekaat yang ia tunaikan. Yang pasti ia tidak beranjak dari bersilanya hingga shubuh menjelang.

“Di dunia ini apa sih yang kita cari, dik. Masih banyak rejeki yang halal di luar sana yang jelas dan tidak samar-samar”, raut muka mas Nur tegang menasehati sahabatku. Pertanyaan sahabatku itu mewakili pikiran kami, adik adik kelasnya yang baru beberapa hari menjalani pekerjaan di kantor penuh jebakan korupsi orde baru. Bila saja ia tahu, tentu ia pun akan melantangkan kalimatnya itu padaku.

“Bila untuk pekerjaan kantor kita sampai mengorbankan waktu di rumah kita untuk menyelesaikan berkas yang menumpuk itu, maka sepantasnyalah kita yang mengaku pejuang dakwah ini akan melakukan pengorbanan waktu yang lebih banyak lagi untuk dakwah yang kita cintai ini”, kata mas Nur di lain waktu.

 

Mas_Nur_ Sampai saat terakhir belasan tahun silam aku bertemu dengannya, tubuhnya pun menjadi lekat dengan tanda-tanda perjuangan yang dikumandangkannya itu.

Kini mas Nur telah tiada.  Allahummaghfirlahu Warhamhu Wa’afihi Wa’fuanhu.

Dan…  aku pun menjadi bisa lebih jelas memaknai mimpiku beberapa waktu yang lalu itu. Mimpi yang hadir di saat mas Nur masih hidup, yang baru bisa kutakwilkan di saat ia telah memenuhi panggilan Rabb nya.

Mereka bertiga, duduk bercanda tersenyum dan tertawa sangat akrabnya di dalam taman kota yang bersih, dicuaca yang sangat cerah.

Allahummaghfirlahum Warhamhum Wa’afihi Wa’fuanhum.
Amin.

“Cukuplah bagimu, engkau melihat orang-orang yang telah mati yang ketika sejarah hidupnya dipelajari hati menjadi hidup, sebagaimana ada pula manusia-manusia yang hidup diantara kita yang dengan melihatnya hati kita menjadi mati”.

Bisyr Al Khothib, RijaluDakwah

 

 

----- # survival pulau panjang, serang banten. april 2012

Diorama Mereka Yang Telah Tiada Diorama Mereka Yang Telah Tiada Reviewed by anisvanjava on April 28, 2012 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.