Seorang pilot keluar dari ruang pilot disaat penerbangan Adam Air ke bandara soebadio berada pada ketinggian. Ia memakai seragam pilot, hanya saja tidak mengenakan topi pilotnya.
"”Saya pilot pesawat ini”, kata orang itu memperkenalkan diri.
Seketika pandangan penumpang pesawat tertuju kepada sosok laki-laki yang agak gemuk itu. Yang semula hendak memejamkan mata menjadi serius menatap, yang membaca koran mulai melipat korannya, dan saya yang dari awal memperhatikan interior pesawat menjadi bertambah heran, “lantas siapa yang mengemudikan pesawat ini?”.
“Tetapi tenang bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-saudara. Pesawat ini bisa jalan sendiri. Otomatis, karena ada teknologi autopilot”, katanya menenangkan keadaan. Selanjutnya ia mulai menyampaikan ‘welcoming ceremony’ nya, bercerita tentang kebijakan perusahaannya dan sesekali memberikan ‘kuis’ dan menyediakan hadiah bagi yang bisa menebaknya. Penumpang berlomba angkat tangan dan menjawab pertanyaan. Ada yang benar ada yang salah. Suasana menjadi semarak, ramai, meriah, mungkin malah bisa dibilang gaduh.
He.. he.. he.. menarik.
Hadiahnya ?
Bukan ! Bagi saya yang lebih menarik adalah autopilotnya itu.
Ada teknologi autopilot. Bila autopilot ini sedemikian canggih, tentu para pilot akan diringankan tugasnya. Ia bisa jalan-jalan dan melakukan aktivitas lainnya di dalam pesawat seperti pilot tadi. Dan kalau lebih canggih lagi, sebuah pesawat malah tidak perlu lagi ada pilot. Para pilot akan menganggur dan sekolah pilot akan tutup.
Tetapi dari beberapa tahun yang lalu kisah itu, hingga saat ini profesi pilot masih ada. Apakah teknologi autopilot ini tidak berkembang, ataukah memang disengaja cukup sampai di situ saja sehingga keberadaan pilot masih diperlukan?
Kita lihat saja. Karena walaupun bernama teknologi canggih, tetapi membuat seseorang ‘menjadi tidak diperlukan’ itu memang tidak mengenakkan. Para pilot pasti akan menjadi penentang yang pertama, karena hal ini sangat menyakitkan, yaitu: “Tidak diperlukan lagi !”.
Kemarin para pengkritisi pemimpin negeri ini kembali menyampaikan istilah yang menyakitkan. Katanya,” negeri ini adalah negeri autopilot !”.
Entah pemimpin negeri ini merasa sakit hati atau tidak mendengar pernyataan itu. Bila negeri ini autopilot, tentu pemimpinnya akan bisa bersantai-santai. Tidak perlu banyak bekerja tetapi bisa lebih sering liburan atau jalan-jalan ke luar negeri. Bila ia temannya kabayan, pastilah ia sudah menjadi ahli mengail ikan karena sering memancing tiap hari. Karena negeri ini autopilot !.
Bagaimana dengan urusan rakyatnya? Oh, itu sudah otomatis berjalan dengan sendirinya. Bila rakyatnya dipancung di luar negeri dan keluarga korban histeris menangisi, maka biarkan saja nanti juga akan selesai dengan sendirinya seiring dengan dikuburnya jasad itu dan keringnya air mata mereka. Bila tiap hari ada bayi kurang gizi, maka tenang sajalah nanti juga akan otomatis selesai sendiri seiring dengan matinya bayi-bayi malang itu satu persatu. Bila antar kelompok masyarakat saling baku hantam karena ketidakjelasan dan ketidaktegasan kebijakan, maka santai sajalah nanti juga akan beres sendiri seiring dengan luluh lantaknya kampung mereka. Dan banyak lagi segala sisi kehidupan ini yang akan bisa berjalan dengan sendirinya. Karena negeri ini autopilot !.
Kita lihat saja apakah sistem autopilot di negeri ini akan mengalami perkembangan yang pesat, hingga saatnya kita tidak akan disibukkan lagi untuk memilih pemimpin. Negeri ini tidak lagi memerlukan pemimpin. Karena negeri ini autopilot.
Sekarang waspadalah. Jangan sampai autopilot berkembang kondusif dalam keluarga kita. Eksistensi kita akan terancam. Dan akibatnya, “apalah gunanya seorang ayah !!! ”.
Tidak ada komentar: