Gerimis desa gumati menyisakan kecamuk rasaku yang berlarut mengantarkan malam. Empat puluh satu menit curahan hati sahabat di sana terngiang di telinga. W950i masih terasa hangatnya, sehangat telingaku mengakrabinya. Bersyukur rasa dekat itu telah membuatku menjadi penyambung lidahnya.
Hanya saja wahana hati yang saat ini lebih sigap bertugas, hingga luapan uneg unegnya tertampung. Seiring helaan nafas yang senantiasa melapangkan. Meski deraan kisahnya teramat pilu untuk didengarkan. Tugas muliaku saat ini adalah mendengarkannya.
Sesaat kemudian aku tersenyum. Tersenyum membalas senyuman mas nur yang abadi dalam wajah teduhnya. Senyum yang telah ada dalam patrian ingatanku semenjak belasan tahun silam. Senyum yang mengajarkanku tentang saatnya melihat dan mendengarkan. Dengan mata kepala dan mata hati. Dengan telinga kepala dan telinga hati.
Senyum itu hingga kini masih setia..
“ Sudah beberapa malam aku menunggui wahyu yang terbaring lemah di balai rumah sakit daerah. Wahyu kecelakaan. Mukanya bengkak, bibirnya pecah dan kelopak matanya dijahit. Aku dan beberapa teman menungguinya, karena kakak sepupunya menelponku untuk menungguinya. Tidak ada sanak family yang berada di daerah sini, kecuali kakak sepupu perempuannya yang juga tidak bisa sepenuhnya menungguinya.
Ketika pagi menjelang, aku pamitan kepada wahyu untuk berangkat kerja. Sepulang kerja barulah kami berdua, kadang bertiga, menunggui wahyu di ruangan pasien rumah sakit. Bersama para penunggu pasien yang lain, kami menggelar tikar disamping wahyu.
Luka-luka yang diderita wahyu cukup serius, sehingga perlu perawatan beberapa hari.
Sampai beberapa malam, tidak ada yang menengok wahyu apalagi menungguinya, kecuali kami teman seangkatannya. Biaya perawatan wahyu menjadi sesuatu yang kami pikirkan. Tentu tidak ada seorangpun di antara kami yang menginginkan musibah ini terjadi. Kemanakah gerangan bantuan untuk meringankan beban biaya perawatan ini akan kami dapatkan.
Beberapa wajah teman-teman kemudian terbayang. Mereka yang selama ini bersama-sama kami beraktivitas dalam berbagai kegiatan. Teman di kantor, maupun di luar kantor. Tetapi, kemanakah gerangan mereka, sehingga sampai beberapa hari tidak ada satupun diantara mereka yang menengoknya?
Di tengah penat dan ngantukku menyelesaikan pekerjaan kantor, mas nur datang mengucapkan salam. Mas nur adalah kakak kelas kami beberapa tahun. Mas nur sangat ramah dan murah senyum. Mas nur seorang yang sederhana dalam hidup dan perilaku.
“Gimana dhik, kabarnya dhik wahyu?”, tanya mas nur.
Uneg-uneg dalam hatiku seolah menemukan jalannya. Mumpung mas nur memulainya. Maka sepuasnya aku menyampaikan kepadanya.
“Mengapa sampai saat ini tidak ada teman-teman yang menengok wahyu. Sudah beberapa hari wahyu terbaring di rumah sakit. Jangankan menungguinya, menengok pun tidak. Apa saja sih kesibukan mereka sehingga untuk meluangkan waktu sejenak saja tidak bisa.
Saat ini biaya perawatan pun tidak ada yang membantu. Bagaimana kita bisa mengatakan kita bersaudara dan berukhuwwah, kalau hal-hal yang seperti ini tidak mendapat perhatian”, demikian isi hatiku tertumpah kepada mas nur.
Mas nur tersenyum.
Terlihat mas nur menghela nafas, “ya dhik, insyaAllah nanti kami akan menengok wahyu. Adapun mengenai biaya, semaksimal mungkin akan dibantu”.
Aku tidak terlalu menghiraukan jawaban mas nur. Bisa mengungkapkan isi hati dengan panjang lebar kepadanya, itu sudah cukup bagiku.
********
Selepas kuparkir motor di tempat parkir, dengan badan separuh tenaga aku menuju kamar perawatan.
Sekitar jam dua belas malam, mas nur datang mengucap salam memutus kantukku. “bagaimana dhik, keadaannya”, tanya mas nur.
“alhamdulillah, mulai membaik mas”, jawabku sekenanya dengan mata berat.
Kehadiran mas nur malam itu sangat istimewa. Di saat kami sudah tidak berharap banyak akan perhatian teman-teman.
“mohon maaf, dhik. Baru kali ini saya bisa menjenguk. Beberapa malam ini ada kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan. Tadi selesai dari mengisi acara, saya langsung ke sini. Mohon maaf bila mengganggu, karena sempatnya baru malam begini”, mas nur menjelaskan maksud kedatangannya.
Saat itulah aku mulai mengenal siapa sebenarnya mas nur dan apa aktivitas yang dilakukannya. Begitu pula ketika mas nur menceritakan keadaan teman-teman yang lainnya.
“Mohon maaf dhik, mungkin tidak banyak bantuan dana yang bisa diberikan teman-teman. Karena kita tahu benar bahwa teman-teman bukanlah orang-orang yang berkelebihan dalam masalah harta. Di antara mereka bahkan sangat kekurangan dan malah perlu kita bantu pula”.
“Ya, nggak apa-apa, mas. Di tengok mas nur saja, kami sudah sangat senang”, aku tidak bisa berbicara banyak.
********
Kejadian pada malam belasan tahun yang silam itu membuka mata, hati dan pikiranku. Bahwa selama ini aku memandang masalah hanya dari sisiku saja. Hanya akulah yang punya masalah. Akulah yang mempunyai banyak tuntutan untuk diperhatikan. Bahwa sudah selayaknyalah mereka mempedulikanku.
Sikap sebaliknya, tidak pernah terbersit. Tidak terpikir bagiku bagaimana mas nur menerima semua masalah yang sebagian besar justru bukan masalah pribadinya. Bagaimana ia juga mempunyai keluarga yang harus diurusnya. Tubuh penatnya mencoba tetap terlihat segar di hadapan semua orang yang bertamu di rumahnya yang sangat sederhana. Senyumnya melupakanku bahwa saat itu kami hanya beralas karpet plastik saja. Rak dan buku-buku adalah harta berharga yang dimilikinya terjajar pada dinding yang kusam penuh coretan anak-anak.
Suatu hari tubuh mas nur roboh karena pembuluh darahnya tersumbat, siapakah yang harus peduli ?
Beruntung mas nur telah mengajarkanku. Belasan tahun silam.
Selamat malam, mas nur. Bagaimana kabarnya?
Kuyakin malam ini Rabb kita pun tersenyum.
Oh.. indahnya persaudaraan.
Gerimis belum reda.
Gerimis desa gumati, segerimis hati sahabat sejati.
[Bromelia Room, Desa Gumati, Sentul Bogor #2-33]
Hanya saja wahana hati yang saat ini lebih sigap bertugas, hingga luapan uneg unegnya tertampung. Seiring helaan nafas yang senantiasa melapangkan. Meski deraan kisahnya teramat pilu untuk didengarkan. Tugas muliaku saat ini adalah mendengarkannya.
Sesaat kemudian aku tersenyum. Tersenyum membalas senyuman mas nur yang abadi dalam wajah teduhnya. Senyum yang telah ada dalam patrian ingatanku semenjak belasan tahun silam. Senyum yang mengajarkanku tentang saatnya melihat dan mendengarkan. Dengan mata kepala dan mata hati. Dengan telinga kepala dan telinga hati.
Senyum itu hingga kini masih setia..
“ Sudah beberapa malam aku menunggui wahyu yang terbaring lemah di balai rumah sakit daerah. Wahyu kecelakaan. Mukanya bengkak, bibirnya pecah dan kelopak matanya dijahit. Aku dan beberapa teman menungguinya, karena kakak sepupunya menelponku untuk menungguinya. Tidak ada sanak family yang berada di daerah sini, kecuali kakak sepupu perempuannya yang juga tidak bisa sepenuhnya menungguinya.
Ketika pagi menjelang, aku pamitan kepada wahyu untuk berangkat kerja. Sepulang kerja barulah kami berdua, kadang bertiga, menunggui wahyu di ruangan pasien rumah sakit. Bersama para penunggu pasien yang lain, kami menggelar tikar disamping wahyu.
Luka-luka yang diderita wahyu cukup serius, sehingga perlu perawatan beberapa hari.
Sampai beberapa malam, tidak ada yang menengok wahyu apalagi menungguinya, kecuali kami teman seangkatannya. Biaya perawatan wahyu menjadi sesuatu yang kami pikirkan. Tentu tidak ada seorangpun di antara kami yang menginginkan musibah ini terjadi. Kemanakah gerangan bantuan untuk meringankan beban biaya perawatan ini akan kami dapatkan.
Beberapa wajah teman-teman kemudian terbayang. Mereka yang selama ini bersama-sama kami beraktivitas dalam berbagai kegiatan. Teman di kantor, maupun di luar kantor. Tetapi, kemanakah gerangan mereka, sehingga sampai beberapa hari tidak ada satupun diantara mereka yang menengoknya?
Di tengah penat dan ngantukku menyelesaikan pekerjaan kantor, mas nur datang mengucapkan salam. Mas nur adalah kakak kelas kami beberapa tahun. Mas nur sangat ramah dan murah senyum. Mas nur seorang yang sederhana dalam hidup dan perilaku.
“Gimana dhik, kabarnya dhik wahyu?”, tanya mas nur.
Uneg-uneg dalam hatiku seolah menemukan jalannya. Mumpung mas nur memulainya. Maka sepuasnya aku menyampaikan kepadanya.
“Mengapa sampai saat ini tidak ada teman-teman yang menengok wahyu. Sudah beberapa hari wahyu terbaring di rumah sakit. Jangankan menungguinya, menengok pun tidak. Apa saja sih kesibukan mereka sehingga untuk meluangkan waktu sejenak saja tidak bisa.
Saat ini biaya perawatan pun tidak ada yang membantu. Bagaimana kita bisa mengatakan kita bersaudara dan berukhuwwah, kalau hal-hal yang seperti ini tidak mendapat perhatian”, demikian isi hatiku tertumpah kepada mas nur.
Mas nur tersenyum.
Terlihat mas nur menghela nafas, “ya dhik, insyaAllah nanti kami akan menengok wahyu. Adapun mengenai biaya, semaksimal mungkin akan dibantu”.
Aku tidak terlalu menghiraukan jawaban mas nur. Bisa mengungkapkan isi hati dengan panjang lebar kepadanya, itu sudah cukup bagiku.
********
Selepas kuparkir motor di tempat parkir, dengan badan separuh tenaga aku menuju kamar perawatan.
Sekitar jam dua belas malam, mas nur datang mengucap salam memutus kantukku. “bagaimana dhik, keadaannya”, tanya mas nur.
“alhamdulillah, mulai membaik mas”, jawabku sekenanya dengan mata berat.
Kehadiran mas nur malam itu sangat istimewa. Di saat kami sudah tidak berharap banyak akan perhatian teman-teman.
“mohon maaf, dhik. Baru kali ini saya bisa menjenguk. Beberapa malam ini ada kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan. Tadi selesai dari mengisi acara, saya langsung ke sini. Mohon maaf bila mengganggu, karena sempatnya baru malam begini”, mas nur menjelaskan maksud kedatangannya.
Saat itulah aku mulai mengenal siapa sebenarnya mas nur dan apa aktivitas yang dilakukannya. Begitu pula ketika mas nur menceritakan keadaan teman-teman yang lainnya.
“Mohon maaf dhik, mungkin tidak banyak bantuan dana yang bisa diberikan teman-teman. Karena kita tahu benar bahwa teman-teman bukanlah orang-orang yang berkelebihan dalam masalah harta. Di antara mereka bahkan sangat kekurangan dan malah perlu kita bantu pula”.
“Ya, nggak apa-apa, mas. Di tengok mas nur saja, kami sudah sangat senang”, aku tidak bisa berbicara banyak.
********
Kejadian pada malam belasan tahun yang silam itu membuka mata, hati dan pikiranku. Bahwa selama ini aku memandang masalah hanya dari sisiku saja. Hanya akulah yang punya masalah. Akulah yang mempunyai banyak tuntutan untuk diperhatikan. Bahwa sudah selayaknyalah mereka mempedulikanku.
Sikap sebaliknya, tidak pernah terbersit. Tidak terpikir bagiku bagaimana mas nur menerima semua masalah yang sebagian besar justru bukan masalah pribadinya. Bagaimana ia juga mempunyai keluarga yang harus diurusnya. Tubuh penatnya mencoba tetap terlihat segar di hadapan semua orang yang bertamu di rumahnya yang sangat sederhana. Senyumnya melupakanku bahwa saat itu kami hanya beralas karpet plastik saja. Rak dan buku-buku adalah harta berharga yang dimilikinya terjajar pada dinding yang kusam penuh coretan anak-anak.
Suatu hari tubuh mas nur roboh karena pembuluh darahnya tersumbat, siapakah yang harus peduli ?
Beruntung mas nur telah mengajarkanku. Belasan tahun silam.
Selamat malam, mas nur. Bagaimana kabarnya?
Kuyakin malam ini Rabb kita pun tersenyum.
Oh.. indahnya persaudaraan.
Gerimis belum reda.
Gerimis desa gumati, segerimis hati sahabat sejati.
[Bromelia Room, Desa Gumati, Sentul Bogor #2-33]
Gerimis Desa Gumati
Reviewed by anisvanjava
on
November 03, 2011
Rating:
Tidak ada komentar: