Modin vs Anak SMA

"Wis elah ora apa-apa. Mengko nek ana wong mati sing diluru ya modin. Dudu bocah SMA," pak Warsono berseloroh santai sambil berlalu meninggalkan sekelompok anak SMA yang nyengir mati gaya.
Anak anak SMA remaja tanggung yang tidak tahu persis untuk apa ia sekolah. Mungkin karena bergengsi saja, daripada menganggur atau tidak diterima di sekolah manapun. Malu.

Karena begitu pulalah yang saya rasakan dulu sewaktu SMA. Bangga kalau bisa sekolah di negeri. Bahkan sesama satu sekolahan pun, anak fisika lebih membanggakan diri dibandingkan dengan anak sosial.

Penuturan pak Warsono guru agama saya sewaktu SD dulu perihal cemoohan anak SMA tadi, belum membuat saya paham juga. Maklumlah anak SD di desa terpencil dulu hanya memahami dari cerita yang disampaikan saja. Sebatas itu.


Maka begitulah selepas SMA pun saya tidak jauh berbeda dengan anak anak SMA dalam cerita tadi. Yang tidak bisa berbuat banyak untuk kemanfaatan masyarakat. Untuk keperluan mengurus jenazah orang yang meninggal dunia pun, masyarakat lebih mempercayakan kepada modin. Jelaslah.


Pak Warsono yang lulusan sekolah guru agama itu lebih bangga dengan olokan sebagai modin warsono, daripada kebanggaan status sebagai anak SMA yang katanya terpelajar dengan intelektualnya itu. Modin lebih bermanfaat bagi masyarakat daripada pelajar lulusan SMA.
Beberapa tahun kemudian, barulah saya teringat kisah modin warsono ini seiring dengan ketidakberdayaan diri sebagai lulusan SMA.


Apa yang telah bertahun-tahun saya lakukan hingga SMA. Tidakkah ilmu-ilmu yang dipelajari ini bisa membawa diri menjadi insan yang banyak manfaatnya di masyarakat. Apakah ilmu ini hanya sebatas pengetahuan serba tanggung yang tidak berarti apa apa kecuali untuk mendaftar sekolah lagi di perguruan tinggi. Kalau tidak lolos seleksi perguruan tinggi, akhirnya tidak punya pilihan lain kecuali menjadi pengangguran.


Begitulah kelatahan ini mengalir hingga kuliah. "Jangankan hanya lulusan SMA. Yang jebolan universitas pun hanya menjadi pencari cari kerja. Kalau tidak diterima kerja sana sini, ya akhirnya tidak punya pilihan lain kecuali menjadi pengangguran".

Apakah dari manusia yang seperti ini dapat diharapkan kepemimpinannya untuk masyarakat. Apakah manusia seperti ini mampu membentuk institusi keluarga yang tangguh. Sedangkan untuk bertahan hidup saja bagi dirinya masih kepayahan.

Lalu, apakah ketidakberdayaan ini akan diwariskan untuk anak keturunan kita? Berilmu tapi tak berdaya guna.
Kemanakah kita mencari sekolah untuk anak-anak?





Allahumma inni as'aluka 'ilman nafi'an.

#nyari sekolah utk qori @puspiptek






Modin vs Anak SMA Modin vs Anak SMA Reviewed by anisvanjava on Februari 07, 2015 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.