Alhamdulillah, Allah swt mengaruniakan kepada kami kesehatan dan keadaan semuanya baik-baik saja.
Tadi pagi sebelum sahur, sekitar pukul 03.00 dinihari, ziyad bangun. Sepertinya ziyad masih ngantuk, tapi untuk tertidur lagi terganggung dengan qori, kakaknya.
Akhirnya saya timang ziyad, supaya tertidur lagi.
Saya perhatikan wajah ziyad. Tetap saja wajah bayi yang menerima apa saja perlakuan orang tua yang diperbuat kepadanya. Wajah bayi 5 bulan tanpa dosa. Belum banyak berubah seperti saat pertama kali saya memandangnya seketika keluar dari ruang kelahiran sari asih. 7 April 2007 yang lalu.
Tiba-tiba pula saya teringat kepada wajah seorang bayi yang terbelalak matanya ke atas karena jantungnya bocor. Bayi itu terpaksa dibawa ibunya untuk pulang dari rumah sakit, walaupun belum sembuh.
Hari itu, seingat saya tanggal 9 april 2007, karena sudah tiga hari bayi itu dirawat. Dan hari itu pulalah, saya menjemput isteri saya untuk chek out pulang ke rumah bersama ziyad, bayi baru saya.
Ingatan saya kepada wajah bayi dengan jantung bocor itu masih kuat sampai saat ini. 7 April 2007 itu, ziyad keluar dari ruang bersalin dan ditangani perawat untuk dibawa ke ruang perinatologi. Sebuah ruang untuk memastikan keadaan bayi yang lahir baik-baik saja. Saya mengikuti ziyad sampai masuk ruang perinatologi. Saya belum tahu, apa saja yang dilakukan di ruang perinatologi itu, dan bagaimana prosedur yang harus dijalani. Maka, saya menunggu saja di ruang tunggu perinatologi.
Di ruang tunggu itulah, ada seorang ibu muda, dan seorang ibu tua duduk-duduk lesehan di lantai, dengan bungkusan tas kecil dan selendang bayi. Ibu muda itu mulai mengajak ngobrol, yang memecahkan ketegangan saya karena kekhawatiran terhadap ziyad. Dari obrolan itulah saya tahu, bahwa ibu muda tadi mempunyai bayi yang juga dirawat di ruang perinatologi. Dan ibu yang lebih tua itu adalah ibunya, atau nenek dari sang bayi.Tanpa ditanya pun ibu muda itu bercerita bahwa anaknya dulu terlahir normal dan sehat, tiga bulan yang lalu. Sekarang sakit, jantungnya bocor. Saya melihat raut wajah ibu itu bingung, sedih dan pasrah.
Bukan karena sakitnya sang anak semata yang mengakibatkan itu semua, melainkan karena mereka tidak mempunyai uang untuk membayar biaya rumah sakit. Ibu itu sudah menjual perhiasan emasnya, dan masih ada lagi perhiasan yang tersisa untuk dijual lagi. Tapi belum laku. Akhirnya ibu itu meminjam uang kepada tetangganya. Sang nenek pun berulang kali menambahkan cerita ibu tadi.
Ibu itu berkata,'saya sudah tidak punya kemampuan lagi untuk tetap merawat anak saya di rumah sakit ini. Besok atau lusa, saya akan mengambil anak saya dari rumah sakit ini, sebelum biayanya bertambah besar. Walaupun belum sembuh. Jantungnya sekarang bocor. Kalaupun kemudian setelah saya bawa pulang, bayi saya diambil sama yang maha kuasa, saya sudah iklash'.
Tidak ada kata yang bisa saya ucapkan untuk menanggapi pembicaraan itu. Perasaan saya bermacam-macam. Pikiran saya bercampur aduk. Badan saya mengikuti dengan beratnya. Beberapa malam, saya tidak tentu tidur, selama isteri saya dirawat di rumah sakit. Kami bertiga hening di ruang tunggu. Ya Allah, Ya Rabbi.
Saya teringat Allah.
Sampai tiba-tiba perawat keluar dari ruang perinatologi, dan memanggil nama saya.
Perawat mengatakan kalau bayi saya dalam keadaan sehat, hanya perlu di pantau beberapa waktu di perinatologi. Minimal 24 jam.
Ya sudah, saya keluar dari ruang tunggu, berpamitan dengan ibu dan nenek tadi.
Selanjutnya saya tidak ingat apa yang saya lakukan.
8 April 2007, isteri memberitahukan bahwa saya dicari oleh perawat bagian perinatologi, untuk mengurus sesuatu yang berkaitan dengan ziyad. Dari kantor saya langsung ke rumah sakit.
Saya menjadi cemas dengan apa yang terjadi dengan ziyad. Tetapi saya mencoba tenang. Lagi pula saat itu bukan waktunya jam kunjungan, sehingga ruang perinatologi pun masih tertutup rapat.
Isteri saya mendesak untuk menanyakan apa yang terjadi dengan ziyad, sampai-sampai perawat mencari saya dengan tanda-tanda yang penting dan gawat. Karena itulah, saya masuk ke ruang perinatologi. Alhamdulillah, tidak ada sesuatu yang berarti. Tapi saya tetap cemas. Saya mencoba untuk tidak bingung berkepanjangan. Kecemasan itulah yang membuat saya tidak ada keinginan untuk menegur ibu dan nenek tadi, ketika selintas bertemu di ruang tunggu perinatologi. Saya pulang.
Hari berikutnya, saya tidak masuk kantor, karena sebelum siang saya harus mengurus kepulangan isteri dari rumah sakit. Ketika di pintu masuk samping rumah sakit itulah saya berpapasan dengan bayi dalam kotak inkubator, yang hidungnya dipasang selang pernapasan ke tabung oksigen. Matanya terbelalak. Saya baca kertas identitas di kotak inkubator itu secara sekilas. Tertulis tanggal lahir, alamat, dan penolong kelahiran : dukun.
Ya Allah, kasihan bayi itu. Perhatian saya kemudian tertuju kepada suara yang sepertinya saya mengenalnya. Bayi itu adalah anak ibu muda yang saya temui di ruang tunggu perinatologi. Ibu itu mengiringi inkubator menuju angkot yang telah disewanya untuk pulang.
Apakah selang oksigen itu akan dicabut dan bayi itu akan mati di angkot.
Ya Allah, saya tidak sanggup untuk mengetahui yang akan terjadi, maka saya pun berlalu.
Ingatan saya kembali ke ziyad.
Ya, ziyad anak kedua saya, yang saya timang tadi pagi.
Muhammad Ziyad Alkhoir.
Wahai sang bayi yang jantungnya bocor, bagaimana keadaanmu kini.
Masihkah kau ada ?
Apakah kau sudah berada di taman syurga, di tempat yang lebih baik dari tempatmu di dunia ?
Jika iya, apakah kau akan mengakui ibumu kelak di hari akhir untuk memberi syafaat kepadanya, walaupun ia memaksamu keluar dari rumah sakit karena tidak ada uang ?
Selasa, 6 Ramadhan 1428 - 18 September 2007
Bayi Dengan Jantung Bocor
Reviewed by anisvanjava
on
September 17, 2007
Rating:
Tidak ada komentar: