Pada zaman dahulu kala, di desa tempat saya tinggal, terdiri dari empat dusun. Saya tinggal di salah satu dusun, yang tidak luas. Jalan utama yang membelahnya hanya berbentuk huruf "L". Dari ujung jalan ke ujung jalan itu, terdiri tidak lebih dari 200 rumah.
Saya hafal letak rumah-rumah itu, karena setiap sore sehabis mandi saya bersepeda keliling dusun, keluar masuk gang-gang kecil. Dan karena hafal itulah, kalau pulang belajar kelompok dari rumah teman saya, naik sepeda melewati lorong-lorong yang ada pohon-pohon besar dan tua, tidak nabrak-nabrak, padahal gelap gulita.
Dusun saya mempunyai satu masjid. Saya tidak tahu namanya, selain orang dusun saya menyebutnya dengan masjid jami'. Saya pertama kali ke masjid itu pada waktu sholat jum'at, diajak bapak.
Masjid itu sangat sederhana. Suatu ketika, masjid jami' itu sudah tidak layak lagi untuk menampung jama'ah. Jama'ah jum'at, apalagi sholat hari raya.
Maka para pengurus masjid mengadakan rapat untuk memugar masjid itu, dan membangun masjid dengan desain yang baru.
Semuanya sepakat. Penggalangan dana dan bahan-bahan bangunan pun dilakukan. Sebelum sholat jum'at, diumumkan perolehan dari penggalangan tersebut.
Banyak yang menyumbang uang, sekian rupiah. Tukang kayu yang rumahnya dibelakang rumah saya, menyumbang tenaga. Dia mahir membuat kerangka atap. Sehingga walaupun cukup luas ruang dalam masjid itu, tapi dia berhasil membuatnya tanpa tiang.
Paman saya, kontraktor bangunan, menyumbang tenaga dan beberapa bahan bangunan. Dan ada pimpinan ormas yang menyumbang satu batang pohon jati yang sudah tua, yang baru ditebang dari pekarangan rumahnya. Semua warga dusun berusaha memberikan apa yang mereka bisa berikan demi terbangunnya masjid itu.
Tetapi, sebelum masjid itu jadi, perpecahan warga dusun terjadi. Membuyarkan semua keindahan-keindahan itu. Sebelum masjid itu berbentuk, timbul pemikiran diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat, tentang siapa nanti yang "menguasai" masjid itu.
Kelompok mana, aliran apa, ormas mana, yang nanti mengurusnya.
Begitulah, masjid itu akhirnya terlunta-lunta pembangunannya, karena tidak semua warga dusun memberikan kontribusinya seperti sebelum-sebelumnya. Bahkan ada kelompok di dusun itu yang mempunyai rencana untuk mendirikan masjid sendiri.
Di sebuah dusun dengan tidak lebih dari 200 rumah.
Sampai akhirnya, masjid itu jadi, dan diberi nama Sa'adatul Muttaqin. Lebih megah dari masjid yang dulu. Tetapi, saya tidak mendapati lagi teman saya yang dulu shalat jum'at bersama. Saya lebih mencintai masjid jami' yang dulu, dibanding masjid yang sekarang. Saya tidak mendapati lagi masjid itu, penuh dengan jama'ah pada waktu sholat jum'at.
Apalagi sholat lima waktu. Sholat hari raya pun, baru penuh apabila digabung dengan jama'ah wanita dusun itu.
Ya, saat ini dusun saya memiliki dua masjid. Jarak antara masjid itu hanya 200 meter.
Kedua masjid itu tidak ada yang penuh jama'ahnya. Bahkan sholat jum'at sekalipun.
----
Sekarang, sudah beberapa ramadhan lewat ini, masjid dikomplek saya direnovasi.
Kotak-kotak infaq digalang dirumah-rumah warga. Sampai tadi pagi, kondisi pembangunan masjid itu, masih belum banyak kemajuan. Kondisi ini mengingatkan saya pada peristiwa menyakitkan beberapa tahun lalu di desa saya itu.
Minggu lalu, isteri saya memberitahu bahwa saya dicari oleh pimpinan ranting sebuah ormas untuk dimintai tandatangan. Ormas itu bermaksud mendirikan sebuah masjid lagi di sebuah tanah kosong dibelakang tempat tinggal saya.
Apabila rencana itu terealisasi, maka akan semakin banyak lagi masjid di komplek saya, yang ....
...... tidak banyak jama'ahnya.
Tidak ada komentar: