Berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan adalah dianjurkan.
Sebagaimana motivasi dari beberapa teman saya yang melakukan kegiatan fogging (pengasapan), yang manfaatnya dirasakan langsung oleh warga RT di sekitarnya.
Pihak penguasa setempat mencermati kegiatan ini. Sehingga beliau menginstruksikan kepada para aparat dan anak buahnya sampai tingkat RT untuk melakukan kegiatan yang serupa. Bahkan lebih besar lagi. Tidak hanya satu RT, tapi satu kelurahan.
Warga juga yang merasakan manfaatnya.
Kemudian, teman saya membuat lagi kegiatan amal berupa bakti sosial (baksos), dengan menjual paket sembako harga murah. Beberapa keluarga kurang mampu terbantu dengan program ini.
Dan pihak penguasa setempat pun mengetahui hal ini, sehingga beliau kembali memerintahkan aparat dan anak buahnya untuk membuat hal yang serupa. Bahkan lebih banyak lagi, dan tidak dijual dengan harga murah, melainkan dibagikan gratis.
Warga juga yang kembali merasakan manfaatnya.
Begitulah, setiap kebaikan yang dilakukan oleh teman-teman saya itu selalu diikuti oleh sang penguasa. Sesuatu yang sangat indah dalam hal berlomba-lomba dalam kebaikan.
Tetapi, keindahan itu menjadi tidak indah lagi. Bahkan perlombaan dalam kebaikan itu dimaknai sebagai persaingan dalam merebut simpati warga. Perlombaan yang seharusnya berupa perbuatan saling membantu dan mengajak dalam kegiatan amal, berubah menjadi perbuatan menjegal dan menghalangi pesaingnya untuk melakukan kegiatan amal.
Hal ini disebabkan, sang penguasa adalah incumbent yang akan mencalonkan dirinya kembali untuk melanggengkan kekuasaannya, sedangkan kelompok teman-teman saya berada dalam pihak yang berseberangan dengan incumbent.
Sehingga selanjutnya yang terjadi adalah, aktivitas teman-teman saya dihalang-halangi oleh sang penguasa, ketika akan membuka posko bantuan kebakaran yang melanda perkampungan warga.
"Jangan dipolitisasi", begitu kata pak lurah, anak buah sang penguasa.
Begitulah ketika kegiatan amal itu dipolitisasi (meminjam istilah pak lurah). Kegiatan tarawih bersama yang dilakukan secara safari dari masjid ke masjid pun, adalah tarawih politis.
Membayar zakat kepada amil zakat, adalah zakat politis.
Open house untuk silaturahim di waktu lebaran kemarin, adalah juga silaturahim politis.
Maka, Bapaknya Ihsan --teman saya -- menjadi salah satu korban politisasi ini.
Beliau seorang penjual 'fried chicken' dengan gerobak dorongnya yang biasa mangkal di depan kelurahan.
Sebelum musim pemilihan penguasa diselenggarakan di daerahnya, sholat berjamaah di masjid adalah sesuatu yang lazim beliau lakukan. Kegiatan silaturahim dan memberikan kepedulian kepada tetangga sekitarnya, juga menjadi kebiasaan.
Beliau akrab dengan DKM Masjid dan jamaahnya. Beliau akrab dengan warga sekelilingnya. Beliau 'gaul' dengan banyak pihak.
Tetapi, ketika musim pemilihan penguasa ini, beliau berada di pihak yang berseberangan dengan incumbent. Maka semua aktivitas amal yang selama ini beliau lakukan yang berkaitan dengan warga sekitar, diinstruksikan oleh penguasa untuk dihentikan.
Aparat sampai tingkat RT diperintahkan untuk menghalanginya. Kalau sebelumnya beliau bebas berjabat tangan dengan DKM masjid, maka kali ini tidak boleh, karena itu adalah jabat tangan politis.
Silaturahim dan kepedulian ke tetangga, juga menjadi tidak boleh, karena itu adalah silaturahim politis.
Pada puncaknya, beliau diultimatum untuk pergi dari tempat tinggalnya. Diusir oleh sang penguasa melalui aparatnya. Kalau tidak mau pergi, tempat tinggalnya akan dibakar.
Alhamdulillah kerunyaman itu cepat berlalu, seiring dengan tahapan pemilihan penguasa.
Ketika sang penguasa berhasil melanggengkan hasrat kekuasaannya, dan menuntaskan ambisinya, maka Bapaknya Ihsan pun kembali berjualan fried chicken di depan kantor kelurahan.
Saya tidak tahu apakah jualannya sempat mendapat istilah 'chicken politis'.
:) :D
****
Terkait dengan masalah ini, seorang ulama yang bernama Hasan al-Banna rahimahullah pernah mengatakan:
"Wahai ummat Islam, sesungguhnya kami menyeru kalian, dengan al-Qur'an dan sunnah di tangan kami, amal para salafushalih menjadi qudwah kami. Kami menyeru kalian kepada Islam, kepada ajaran-ajaran Islam, hukum-hukum Islam, hidayah Islam. Bila kalian menganggap hal ini sebagai sikap yang berbau politik, maka itulah politik kami.
Bila orang-orang yang menyeru kalian pada prinsip-prinsip ini disebut kaum politikus, berarti alhamdulillah mungkin kamilah orang-orang yang banyak berkecimpung dalam politik. Sebutlah apa saja tentang sikap ini, sebutan-sebutan itu tidak berpengaruh negatif bagi kami hingga jelas apa makna sebutan itu dan tersingkap tujuannya."
"Wahai ummat Islam, berbagai sebutan dan nama tersebut hendaknya tidak menghalangi kalian dari hakikat, tujuan dan mutiara. Sesungguhnya yang dikehendaki Islam dalam politiknya adalah kebahagiaan dunia dan akhirat.
Itulah politik kami yang tidak ada gantinya. Karena itu, BERPOLITIKLAH, dan bawa ghirah kalian di atasnya. Kemuliaan ukhrawi menanti kalian."
"Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) al-Qur'an setelah beberapa waktu lagi. " (QS. Shaad: 88)
****
nb :
salam buat Pak P**** atau Abinya Ihsan, pengusaha fried chicken.
Tidak ada komentar: