Ini bunga kamboja dari makam desa saat lebaran hari pertama. Bagi masyarakat desaku, bunga ini bernuansa spiritual yang hanya ada di makam. Karenanya pohonnya tidak pernah ditanam di rumah-rumah sebagai hiasan bagaikan villa di Bali. Bahkan bagi anak-anak bunga ini mengingatkan pada seramnya kuburan. Begitu pula bagiku.
Namun sepeninggal ayahku, bunga ini semakin menampakkan keindahannya. Indah dan tidak menyeramkan seperti dulu, meski ia tumbuh di kuburan. Kini ia bak sekuntum bunga di pekarangan rumah sendiri. Barangkali karena di sinilah pusara ayah berada.
Makam muslim dukuh kecil menjadi tempat healing yang melengkapi itinerary pulang kampungku. Tempatku melepas rindu, tempatku menyapa orang-orang yang kemarin pernah kuajak bercengkerama dengan bersahaja. Kembali kusapa dengan doa kesejahteraan semoga terlimpah kepada pamanku, bibiku, tetanggaku dan handai taulanku yang kini telah terbaring di pemakaman ini. "Kalian adalah pendahulu kami dan kami akan menyusul kalian."
Betapa sebentarnya kebersamaan di dunia ini. Padahal aku belum selesai melanjutkan cerita-ceritaku yang kemarin, rencana-rencana yang belum terlaksana, dan banyaknya keinginan-keinginan yang belum kesampaian. Setiap noktah pada kelopak bungamu mewakili setiap penyesalan atas peluang-peluang baik yang hingga hari ini telah terlewatkan.
Angin yang sepoi mengirimkan seuntai bunga kuning. Pohon kamboja yang sangat tua ini adalah pencatat terbaik, dan ia berbaik hati untuk meminjamkan catatannya. Tapi tak banyak waktu yang kupunyai untuk membacanya, karena ia pun tak lama lagi akan layu.
Baiklah. Barangkali aku harus sering-sering ke sini. Bukan saja untuk mendapati bungamu nan indah ini, tapi agar semakin bisa kudengar lebih jelas lagi pertanyaanmu kepadaku, "apakah bekalmu sudah cukup untuk kembali?".
#ziarah kubur
#makam muslim, awal syawal 1443h
Tidak ada komentar: