Shubuh-shubuh saya dibangunkan ibu, sebagaimana telah dipesankan beliau sebelum saya tidur. Hari itu hari minggu, SD inpres saya libur.
Segera setelah cuci muka, saya menuju dapur yang masih gelap. Disana satu ikat daun pisang telah menunggu untuk saya panggul. Sementara itu, ibu menggendong beberapa ikatan daun pisang yang lain, serta beberapa ikat petai cina.
Daun pisang itu kemarin sore diambil dari pohon pisang di pekarangan rumah. Begitu pula pohon petai cina yang lagi musim berbuah.
Ibu berjalan menyusuri rel kereta. Rel itu biasa dipakai untuk gerbong pengangkut tebu. Saya mengikuti dari belakang. Kabut dan gelapnya desa saya yang tidak ada penerangan listrik itu, membuat saya meraba-raba jalan. Sesekali kaki saya menyandung bantalan rel kereta. Rasa takut akan bayangan hitam pohon-pohon besar di pinggiran desa, membuat saya berjalan sekuatnya untuk tidak tertinggal dari ibu.
Ketika pundak saya capek, saya pindahkan ikatan daun pisang ke pundak yang satunya. Ketika dua pundak saya sudah pegal, saya pindahkan daun pisang itu ke kepala. Saya berusaha meyakinkan ibu, bahwa saya masih kuat memanggul daun pisang itu, supaya lain waktu saya masih diijinkan untuk ikut. Sambil berharap supaya jarak pasar tidak terlalu jauh lagi.
Sampai di pasar keadaan masih remang-remang. Cukup lama menunggu pembeli, saya terkantuk-kantuk. Beberapa dagangan ibu sudah laku terjual, kecuali beberapa ikat petai cina.
Matahari sudah mulai terang, petai cina itu belum juga laku.
Karena gelisah menunggu lama, saya tanyakan kepada ibu mengapa petai cina itu belum juga ada yang membeli.
Ibu mengatakan, bahwa sebetulnya sudah ada yang menawar, tetapi belum cocok harganya. Ibu tetap bertahan pada harga Rp 25,- per ikatnya. Ternyata ibu mendapatkan informasi dari tetangga bahwa harga petai cina per ikatnya bisa mencapai Rp 25,-.
Padahal sudah ada yang menawar Rp 24,5 , -, tetapi ibu tidak mau menjualnya.
Barulah setelah panas matahari mulai terasa, ibu menyadari bahwa harga Rp 25,- per ikatnya tidak lagi laku. Tetapi pembeli yang tadi menawar Rp 24,5 per ikatnya pun, sudah tidak ada lagi kemana.
Akhirnya, petai cina itu dijual ibu dengan harga Rp 23,-.
|| kenangan bersama ibu, pada suatu masa :
|| " robbighfirli waliwalidayya warhamhuma kama robbayani shogira "
“Wahai Rasulullah..! Siapakah manusia yang lebih berhak aku hormati? Jawab Rasulullah, Ibumu. Lalu siapa? Jawab Rasulullah, Ibumu. Kemudian siapa lagi? Jawab Rasulullah, Ibumu. Kemudian siapa lagi? Baru Rasulullah menjawab, Bapakmu”.
(HR. Bukhari)
Selamat Hari Ibu,
Terima Kasih, Ibu.
Maafkan segala kesalahan saya, Ibu.
BalasHapus