Matahari belum terbit. Adzan shubuh pun baru terdengar. Tetapi ustadz Nurshobah dengan retoris bertanya “kok sampai kesiangan begini sih? “.
Pasalnya, rakaat terakhir sholat witir yang saya lakukan mepet dengan saat adzan shubuh.
Jawabannya cuma nyengir saja.
Bola lampu remang-remang wattnya di kontrakan beliau yang berdinding batu bata belum berplester itu, menjadi semakin melelapkan tidur saya, sehingga saya bangun ‘kesiangan’.
Ustadz hadidhono juga akan merasa ‘kesiangan’, apabila adzan shubuh dikumandangkan, sementara beliau baru berjalan menuju masjid.
Karena dapat dipastikan sholat shubuh di masjid itu sudah bubaran, sesampainya beliau di sana. Maka, supaya tidak ‘kesiangan’, beberapa menit sebelum adzan shubuh terdengar, beliau harus sudah keluar rumah menuju masjid.
Padahal masjid itu adalah masjid terdekat dari rumahnya.
Begitu pula ustadz Mushlih. Suatu pagi beliau bercerita bahwa hari ini telah bangun ‘kesiangan’. Jam berapa beliau bangun ?. “Jam 4 pagi”, katanya. Wah, padahal waktu sholat shubuh sekitar pukul setengah lima.
Bisa jadi, karena beliau mempunyai rutinitas ‘kerahiban’ yang tidak mencukupi apabila ditunaikan hanya dalam 30 menit saja.
Berbeda dengan teman saya yang hari itu kerja shift siang di bandara. Untuk mempersiapkan tenaga yang cukup, maka waktu istirahatnya bisa sampai dhuhur. Baru kemudian menjelang jam dua siang, dia berangkat. Walaupun bangun siang hari, tapi dia tidak merasa “kesiangan”.
Jadi, jam berapakah kita mendefinisikan kata ‘kesiangan’?.
Barangkali akan bermacam-macam tafsir tentang kesiangan ini. Tapi sepertinya, kesiangan adalah sesuatu yang tidak diiginkan oleh semua orang.
Bahkan, kalau ingin menjadi pahlawan, janganlah menjadi pahlawan kesiangan !.
:D :D :D
# Salam kangen untuk ustadz nurshobah, ustadz muslih dan ustadz hadidhono.
Tidak ada komentar: