Selama 14 tahun saya bekerja di instansi pemerintah, saya mendapati berbagai macam tipe atasan. Di antara yang berkesan, adalah atasan bertipe majikan. Hubungan antara atasan dan bawahan, sama dengan hubungan majikan dan pembantu. Wujud dari disposisi dan pendelegasian tugas adalah menyuruh untuk melayani dan dilayani. Baik urusan kantor maupun luar kantor. Mulai dari mengetik, mengambil berkas hingga menemai main tenis, membeli rokok atau menjemput anak yang pulang sekolah.
Apabila tiba jadual pembagian ‘jatah’ hasil palak, maka dipanggilnya satu-satu ‘pelayan’ nya itu menghadap di mejanya untuk mendapatkan amplop angpaw. Inilah atasan di kantor dan atasan dalam kehidupan karyawannya. Sehingga seusai pensiun pun, mantan atasan seperti ini masih berlagak majikan kepada mantan bawahannya dahulu di kantor.
Dikunjunginya satu-satu mantan bawahannya yang mungkin saja sudah menjadi pejabat atau naik pangkat. Say hello dari sang majikan ini segera dipahami dan direspon oleh mantan anak buahnya dulu dengan memberikan penghormatan, penghargaan dan pelayanan yang memuaskan. Bisa dengan main di hotel, main golf atau makan-makan di pinggir pantai.
Tetapi, ketika masa itu ada batasnya, maka nasib pun dipergilirkan menggoreskan cerita pilu sang majikan.
Suatu hari mantan ‘wakil’ dirjen yang sudah pensiun beberapa tahun yang lalu, merasa masih menjadi majikan di suatu kantor yang diyakininya menjadi wilayah ‘kekuasaanya’ yang menasional itu.
Ternyata di daerah indonesia timur, tidak semua pegawai mengenali mantan wakil dirjen. Banyak pegawai baru, pegawai muda, satpam baru, office boy baru dan pegawai lama yang sudah tua sebagian pindah atau pensiun.
Kepercayaan diri sang mantan majikan ini berbuah bumerang. Tahta kekuasannya yang sudah lama rapuh menjadi semakin tidak berbekas di tangan satpam muda. Di hadapan banyak pegawai kantor. Satpam yang tidak mengenali siapa tamu yang datang itu menginterogasi sang wakil dirjen karena tidak berbekal identitas yang memadai.
apalah arti sebuah nama, seolah terjelaskan di sini ..
Keringat dingin dan muka malu sang mantan wakil dirjen, mengiringi pupusnya nyali dan keangkuhannya. Entah selama ini ia tahu atau tidak, bahwasanya para mantan anak buahnya bermanis muka dihadapannya, tetapi menyumpah serapah di balik punggungnya.
Karena masa telah lewat.
Kejayaan telah berlalu.
Kejayaan yang dibangun atas kekuasaan berdasarkan ‘Surat Keputusan’, tidak akan selanggeng penghormatan yang terbangun oleh kemanfaatan yang dirasakan orang lain. Maka sangat banyak orang yang tidak mempunyai pangkat apapun dalam pemerintahaan atau perusahaan, tetapi menjadi orang yang disegani di dunia kerja atau di masyarakat. Yang dihormati sampai akhir hayatnya, bahkan setelah wafatnya masih dikenang orang.
Pada akhirnya, status ‘atasan’ bermakna mendalam dalam sebuah tanggung jawab. Atasan dalam organisasi, yayasan, partai politik, kantor, RT, RW, kelurahan dan seterusnya. Orang tua adalah ‘atasan’ bagi anaknya. Suami adalah ‘atasan’ bagi isterinya.
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
(An-Nisaa': 34)
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabann ya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang suami adalah pemimpin terhadap keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawabann ya. Seorang pembantu adalah pemimpin terhadap harta majikannya, dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim )
Nah, tipe ‘atasan’ yang seperti apakah kita ?
Bogor, Pangrango 2 #507
Tidak ada komentar: