Meski tidak ganti pesawat, trip GA 146 kali ini transit di medan. Cuaca cerah. Polonia cerah. Dan pilot pun menginformasikan penerbangan selanjutnya menuju aceh cuacanya cerah. Ketenangan boeing 737 menghamparkan panorama bumi iskandar muda lebih menarik dari sajian inflight entertainment. Hingga pada menit kesekian menjelang pendaratan, goncangan cukup keras tiba-tiba memacu jantung. Semenit dua menit belum ada tanda-tanda goncangan ini akan reda. Awan putih abu abu di luar jendela juga tidak berkata seberapakah tebalnya ia. Istighfar dan takbir kecil penumpang terdengar.
Sebelumnya kedua tangan endri menengadah berdo’a. Kini kedua tangannya mencengkeram pegangan kursi hingga terangkat ke atas. Penumpang di bangku belakang tersujud. Entah sengaja berdoa dengan pasrah atau memang jatuh tersungkur. Meja makan para penumpang kebanyakan belum terlipat, karena goncangan ini terjadi disaat makanan tengah dihidangkan. Dadaku terasa sesak karena jantung yang bertalu talu. Bismillahi la yadlurruhu ma’asmihi syai’un fil ardli wala fissama’ wahuwassami’ul alim. Semoga keadaan ini membaik.
Goncangan kesekian, tangan kiriku terkesiap menangkap botol air minum yang terlempar dari tatakannya. Sejurus pandang daratan aceh terlihat kabur oleh awan cukup menguatkan harapan. Tidak ada yang bisa dilakukan disaat seperti ini selain berdoa dan mengencangkan ikat pinggang. Syukurlah keadaan membaik. Dan semoga keadaan tetap baik hingga mendarat dengan selamat.
Senin sore 16:19 WIB kutapakkan kaki di bumi serambi mekah. Ini adalah negeri waktu indonesia bagian barat yang paling barat. Menjelang pukul setengah lima sore, keadaan masih terang meski gumpalan awan abu abu memayungi bandara sultan iskandar muda.
Subhanallah, gumpalan awan itu cukup menggetarkan nyali. Memang semenjak hilangnya adam air, aku perlu menyiapkan mental tersendiri ketika naik pesawat dalam cuaca yang kurang bersahabat. Meski statistik dari IATA pada 2011, dari 2,8 miliar orang yang terbang dalam 38 juta penerbangan terdapat 11 kali kecelakaan dengan 5 kecelakaan yang melibatkan korban jiwa. Sehingga tingkat kematiannya 0,07 dibanding sejuta penumpang. Selebihnya, kuimani sepenuhnya takdir Allah swt atas segala sesuatu.
Termasuk pula takdir Nya yang pernah terjadi di bumi nanggroe aceh ini. Panas yang amat menyengat tidak memalingkan dari hadirnya rangkaian sejarah aceh, kejayaan, suka dan dukanya. Sepanjang yang hadir dalam ingatan, wilayah ini dinamis dengan kosa kata: dom, gam, syariat, atau yang terakhir: tsunami.
“31 derajat ini pak”, kata pak uci memulai pembicaraan dengan tema sengatan matahari banda aceh. Jalanan cukup halus, sebagian terlihat sebagai karya baru. Bekas gerimis tidak berperan untuk turut meredam gerahnya udara. Pak uci ngebut. Maklum ia sudah hafal setiap jengkal dan tikungan jalan-jalan ini. Meski ia tidak terlahir di tanah ini namun ia berharap dapat mengakhiri kariernya di nanggroe ini. Keluarganya sudah menetap di sini sejak lama. Dan ia sudah fasih sebagai warga aceh.
Tugu doa musafir ini menasehatiku untuk selalu mengingat Allah dalam perjalanan. Dan selayaknya warga aceh juga demikian.
Grand Nanggroe merupakan tempat singgahan pertama. Sebuah hotel bintang tiga di pusat banda aceh, diresmikan oleh Jusuf Kalla pada 2007 silam. Beberapa bagian depan terlihat sedang direnovasi.
Menjadi minat tersendiri memperhatikan keadaan masyarakat aceh. Lalu lalang orang yang berurusan. Kerudung yang selalu dikenakan oleh para perempuan, termasuk pengendara sepeda motor baik yang berdua maupun yang sendiri-sendiri lebih dipatuhi meski tidak mengenakan helm. Inilah masyarakat yang memberlakukan ‘qanun’ dalam kehidupan sehari-harinya. Bahkan di hotel ini secara tegas diberlakukan larangan:
Meskipun di zaman ini bukan muhrim sama-sama pria atau sama-sama wanita juga bisa menjalin hubungan yang terlarang.
Sejenak kemudian kumandang adzan magrib untuk wilayah jakarta sudah tiba di tengah benderangnya matahari aceh waktu ashar. Mm.. indonesia memang panjang membentang.
Berarti bila kita terbiasa di WIB jakarta dan sekitarnya, maka sebentar lagi sudah memasuki malam, dan saatnya segala kebiasaan kita di waktu malam, misalnya makan malam. Tapi di sini masih sore dan terang. Lalu, apakah kita tetap akan berkata kepada perut kita bahwa sekarang saatnya makan malam ? :-D
Mm.. aku teringat sabda Rasulullah,” kami adalah suatu kaum yang tidak akan makan sampai kami lapar…”. Dan saat ini memang perutku belum terasa lapar. Jadi baru nanti tiga jam lagi mas budi ngajak makan malamnya.
Apakah yang terlintas perihal makanan dan minuman apabila disebut “aceh”?.
Mi Aceh. Kopi Aceh. Itulah jawabanku kepada mas budi untuk pertanyaan perihal menu malam ini. Aku menganggap semua mi adalah sama. Karenanya selama ini memang tidak pernah aku makan mi aceh sebelumnya. Jadi ini adalah menu mi acehku yang pertama!.
Di Ring Road Cafe ini tersedia lengkap dengan kepiting rebusnya. Mi ini dibuat di aceh, dihidang oleh resto di aceh, dan dimakannya di aceh. Maka disebut mi aceh. :-D
Ring Road Cafe malam ini ramai. Disamping tempatnya memang cukup nyaman buat nyantai. Kebanyakan anak muda di sini pada mangkal memanfaatkan fasilitas free koneksi internetnya. :-).
Sedangkan kalau mau kopi bercita rasa aceh, ada di dhapu kupi 24 jam.
Di banda aceh banyak terdapat masjid. Rata-rata berukuran besar. Kubahnya sudah bisa terlihat dari kejauhan.
Seperti yang terlihat dari pasar di daerah peunayong, kuta alam dekat pos pageu gampong ini.
Bila di medan ada bentor (becak motor), maka di banda aceh ada gerobak motor, disingkat ……
Dipergunakan untuk berjualan, misalnya jualan rujak. Jadi gerobaknya dirangkai di sepeda motor, berjualan disampingnya dan berkeliling. Atau untuk angkutan barang dan penumpang.
Entah mengapa papan nama instansi pemerintah di sini bukan tertulis : “Pemerintah Daerah Tingkat I Aceh”, atau “Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, tetapi tertulis: “Pemerintah Aceh”.
Museum Tsunami Aceh dibangun untuk mengenang peristiwa tsunami aceh 2004 silam. Tentunya untuk selalu diambil pelajarannya akan banyak hal. Tentang Sang Maha Kuasa dan kekuasaan atas segala sesuatu dan semua hambaNya.
Deretan nama-nama yang terpampang di dinding ini bukanlah tempelan kata-kata tanpa makna. Tentu peringatan ini adalah bagi orang-orang yang berfikir.
Barangkali diantaranya adalah teman, saudara, sanak keluarga atau handai taulan. Sebagaimana sanak keluarga seorang laki-laki sebatang kara yang kini menikahi bu evi. “Keluarga suami saya adalah korban tsunami, isteri dan anak-anaknya. Setelah tsunami ia menikahi saya”, katanya.
Dengan melihat ke dalam diri, menyucikan lahir terlebih batin, menyingkirkan debu yang melekat, maka akan jernih kita memaknai hadirnya benda dengan berat berton-ton ini ‘terbang’ dari pangkalannya di laut lepas nun jauh di sana.
PLTD Apung yang berada semula berada di laut lepas tiba-tiba dengan singkatnya menyambangi pemukiman penduduk dengan tebusan korban jiwa, sudah tentu di luar kuasa manusia untuk melakukannya.
Sekeliling kepala berputar, dan sejauh mata memandang dari loteng, tak nampak di manakah letak laut itu. Dari manakah gerangan ia berasal. Sejauh inikah ia berpindah dalam waktu yang singkat. Memang yang besar hanyalah Allah swt. Atas dasar itulah semua peristiwa ini mendapatkan penjelasannya.
Atas nama jiwa mari heningkan cipta.
Kita mesti bersyukur bahwa kita masih diberi waktu. Hanya atas kasihNya, hanya atas kehendakNya kita masih berdiri di atas tanah ini. Landmark Baiturrahman yang melegenda, menjadi pelengkap keabsahan setiap warna dari catatan aceh. Kubah kubah dan menaranya yang menjulang, keramahan setiap anak tangga dan kekhidmatan lantai sujudnya, bertutur dengan fasih.
Apakah kita memperhatikan nasehatnya?
Perihal setiap perbuatan, sudahkan kita mengikhlaskannya.
Perihal setiap perjuangan, sudahkan kita berkorban untuknya.
Perihal pengkhianatan, sudahkah kita memaafkannya.
Perihal kemanusiaan, bukankah kita bersaudara.
Mari segera sembah sujud padaNya.
-------------------------------
merangkai kisah di nanggroe aceh darussalam
Hermes Hotel #Room 411
--terima kasih pak uci, pak mus, pak fajar, mas budi, bu evi dan teman-teman aceh semua
Tidak ada komentar: