Sebagai perantau di pulau seberang, pak sugiyono bisa dibilang sukses. Setidaknya secara materi. Pekerjaan dan penghasilan mapan, rumah nyaman, kendaraan mobil dan motor juga ada. Diantara kenikmatan dalam kesuksesannya yang paling senang ia rasakan adalah ketika pulang ke kampung halaman. Di suatu desa di pelosok kota jawa tengah, tempat keluarga besar, sanak famili dan handai taulan berkumpul, di sanalah nyaman dan damai jauh dari hiruk pikuk dan kesibukan demi kesibukan yang selalu menggesakan.
Di desa ini masyarakatnya ramah, sopan dan penuh kesantunan, meski rata rata tingkat pendidikannya tidak tinggi. Di desa ini warganya dermawan, ringan tangan suka menolong atau menawarkan bantuan, meski rata rata tingkat ekonominya menengah ke bawah. Dan di desa ini biaya hidup murah. Dibandingkan dengan di tempat perantauannya, biaya hidup di sini bisa mencapai sepertiganya.
Ia merasakan uang yang diperolehnya lebih mempunyai arti. Dengan jumlah uang yang sama, barang barang dan makanan lebih beraneka ragam ia dapatkan. Makanan khas yang lezat dan penuh nostalgia, bisa dinikmatinya beramai ramai dengan teman teman lama. Dan tentu saja ia yang membayarinya, bahkan dengan herannya ia bertanya kepada pemilik warung, "ini sudah dihitung semua, pak?".
He... he..
Tukang-tukang becak pun menyenanginya, karena tarif yang lazimnya lima ribu rupiah, sering ia bayar sepuluh ribu atau dua puluh ribu tanpa kembalian. Ia menilai jerih payah tukang becak layak dihargai dengan nilai segitu. Sudah cukup untuk membuatnya puas berkeliling desa menikmati pemandangan dengan sesekali nyamperin penjual kuliner tradisional atau jajanan pasar. Menurutnya, ini adalah wisata yang nyaman, eksotik, nikmat dengan biaya murah. Dalam teori ekonomi hal ini disebut 'surplus konsumen'. He.. he..
Kedermawanan dalam berinteraksi dengan sesama atau muamalah, sangat dianjurkan. Mengikis kebakhilan dan menjauhi perilaku: menawar nawar hingga berbelit belit dan berlarut larut ;-) ketika membeli kepada tukang sayur atau pedagang kaki lima untuk nilai lima ratus perak, sementara tidak menghiraukan uang yang di'hamburkan' untuk sekali makan di restoran mahal.
Kelapangan hati untuk memberi lebih kepada yang kurang mampu, akan menghadirkan rasa syukur.
Kemurahan hati dalam muamalah maliyah (materi) menjadi unsur perubahan positif dalam masyarakat. Bila perilaku ini menjadi budaya, ia bagaikan penyejuk ditengah derasnya terpaan hedonisme dan individualisme.
Yuuk, maree nikmati dulu kelapangan jiwa ini …
#menikmati becak malam @bugel mas indah
Di desa ini masyarakatnya ramah, sopan dan penuh kesantunan, meski rata rata tingkat pendidikannya tidak tinggi. Di desa ini warganya dermawan, ringan tangan suka menolong atau menawarkan bantuan, meski rata rata tingkat ekonominya menengah ke bawah. Dan di desa ini biaya hidup murah. Dibandingkan dengan di tempat perantauannya, biaya hidup di sini bisa mencapai sepertiganya.
Ia merasakan uang yang diperolehnya lebih mempunyai arti. Dengan jumlah uang yang sama, barang barang dan makanan lebih beraneka ragam ia dapatkan. Makanan khas yang lezat dan penuh nostalgia, bisa dinikmatinya beramai ramai dengan teman teman lama. Dan tentu saja ia yang membayarinya, bahkan dengan herannya ia bertanya kepada pemilik warung, "ini sudah dihitung semua, pak?".
He... he..
Tukang-tukang becak pun menyenanginya, karena tarif yang lazimnya lima ribu rupiah, sering ia bayar sepuluh ribu atau dua puluh ribu tanpa kembalian. Ia menilai jerih payah tukang becak layak dihargai dengan nilai segitu. Sudah cukup untuk membuatnya puas berkeliling desa menikmati pemandangan dengan sesekali nyamperin penjual kuliner tradisional atau jajanan pasar. Menurutnya, ini adalah wisata yang nyaman, eksotik, nikmat dengan biaya murah. Dalam teori ekonomi hal ini disebut 'surplus konsumen'. He.. he..
Kedermawanan dalam berinteraksi dengan sesama atau muamalah, sangat dianjurkan. Mengikis kebakhilan dan menjauhi perilaku: menawar nawar hingga berbelit belit dan berlarut larut ;-) ketika membeli kepada tukang sayur atau pedagang kaki lima untuk nilai lima ratus perak, sementara tidak menghiraukan uang yang di'hamburkan' untuk sekali makan di restoran mahal.
Kelapangan hati untuk memberi lebih kepada yang kurang mampu, akan menghadirkan rasa syukur.
Kemurahan hati dalam muamalah maliyah (materi) menjadi unsur perubahan positif dalam masyarakat. Bila perilaku ini menjadi budaya, ia bagaikan penyejuk ditengah derasnya terpaan hedonisme dan individualisme.
Yuuk, maree nikmati dulu kelapangan jiwa ini …
#menikmati becak malam @bugel mas indah
Surplus Konsumen
Reviewed by anisvanjava
on
April 21, 2015
Rating:
Tidak ada komentar: