Panitia piala eropa boleh merasa bangga karena event yang diselenggarakannya telah mempengaruhi tindakan banyak warga dunia. Bahkan anak sekolah yang baru lulus ujian nasional pun merayakannya dengan mencoret-coret baju seragam mereka dengan motif piala euro. Kompetisi ini pun semakin menggema di tanah air, walaupun ajang sepak bola itu diadakan nun jauh di sana. Jangankan mengeluarkan sejumlah biaya untuk kegiatan ‘promosi’ yang dilakukan anak sekolah ini, bahkan ada tingkah anak sekolah yang seperti ini pun, panitia piala eropa tidak pernah tahu menahu. Rasa memilikilah yang membuat anak sekolah dan sebagian komunitas sepakbola dengan sukarela melakukannya. Tanpa di bayar bahkan tanpa berstatus sebagai bagian dari kesebelasan atau organisasi sepakbola manapun. Pikiran dan tindakannya sudah sejiwa dengan event di eropa itu.
Begitu pula di tengah informasi balita gizi buruk, hal itu tidak mengurangi semangat sebagian masyarakat untuk membela tanah air melalui pelestarian budaya. Isunya adalah diklaimnya seni budaya tari tor-tor oleh negara sebelah. Gayung bersambut semangat itu mendominasi media. Bahkan tidak perlu ada panitia di sini. Semua anak bangsa – tidak hanya dari etnis tertentu -- merasa telah dilecehkan dengan klaim sepihak tersebut. Beberapa pihak menunjukkan pembelaannya dengan berbagai macam cara. Tidak peduli ia seorang penari atau budayawan. Pikiran dan tindakannya yang sudah sejiwa melahirkan semangat nasionalisme dan pembelaan.
Lain lagi sebagian kaum muslimin di negeri ini yang mencermati perkembangan politik di mesir, sebuah negeri yang menurut catatan sejarah, aktif mendukung perjuangan kemerdekaan indonesia di kancah internasional. Saat ini sedang menjalani pemilihan umum pasca revolusi tahrir dengan tergulingnya husni mubarak. Simpati dan dukungan disampaikan kepada partai reformis yang sedang berjuang melawan partai pro status quo. Do’a-do’a pun dipanjatkan. Meski perjuangan itu nun jauh di sana, berlainan negara namun pikiran dan tindakan yang sejiwa itu mengantarkan kepada pembelaan-pembelaan.
Pola pikir manusia boleh bermacam-macam. Hubungan emosional kejiwaan pun beraneka ragam. Hingga berbagai tindakan pun bermacam-macam motifnya. Justru hal ini akan memperlihatkan keberpihakan seseorang terhadap sesuatu, sekaligus menampakkan pengingkaran seseorang kepada yang lainnya.
Seorang pemimpin boleh jadi dipilih oleh rakyatnya, berdomisili di wilayahnya, bekerja dan menikmati hasilnya dari negerinya. Tetapi hal itu belum menjamin ia akan memperlakukan rakyatnya dengan baik sebagai satu nasib sepenanggungan. Karena pikiran, hati dan tindakannya tidak pernah sejiwa bersama rakyatnya, maka ia sejatinya adalah orang asing di negeri sendiri.
Jarak boleh berjauhan, zaman boleh berbeda masa, tetapi pikiran, hubungan kejiwaan dan tindakan pembelaan yang dilakukannya menjadikan segolongan manusia merupakan bagian dari golongan yang lainnya. Sebaliknya, walaupun berstatus sebagai anggota dari suatu golongan, tetapi apabila tidak ada kesamaan pikiran, tidak ada hubungan kejiwaan, atau tidak ada tindakan pembelaan, maka sejatinya ia bukan merupakan bagian dari kelompok itu.
Sejalan dengan hal ini, maka “barang siapa yang tidak mempunyai perhatian kepada urusan kaum muslimin, maka ia bukanlah bagian dari mereka”, begitu sabda Rasulullah SAW. Ungkapan ini sangat mendasar, karena inilah esensi dari ‘hubungan’ itu sendiri. Jauh melebihi status keanggotaan, bentuk organisasi, atau jabatan formal lainnya.
Menengok sejarah pergerakan islam, pada bulan dzulqa’dah 1347 H atau sekitar bulan maret 1928 seorang ulama pergerakan di mesir, Hasan Al Banna didatangi oleh enam sahabatnya yang telah membulatkan tekad untuk bersama-sama melakukan perjuangan perubahan di mesir. Salah seorang di antara mereka bertanya, “dengan apa kita namakan diri kita? Apakah kita akan menjadi suatu organisasi, forum, tarekat, atau lembaga, sehingga memiliki bentuk struktur yang resmi? ”
Al-Banna berkata, “Tidak usah menggunakan semua itu. Kita buang semua bentuk formalitas. Hendaknya kita bertemu di atas fondasi fikroh (fikir), ma’nawiyah (rohani kejiwaan) dan amaliyah (tindakan). Kita adalah saudara-saudara kandung dalam berkhidmat kepada Islam. Jadi, kita ini adalah al-ikhwan al-muslimun ”.
Inilah awal mula nama jamaah ikhwan tersebut. Yang menarik adalah penegasan Al-Banna akan pentingnya beramal jama’i dengan kesamaan pola pikir, keterkaitan kejiwaan, dan realisasi tindakan.
Jadi, di manakah seseorang itu dapat dikelompokkan?
Lihat dari apa yang memenuhi pikirannya, apa yang tertambat di jiwanya, dan kepada apa tindakan pembelannya itu dilakukan !
# ‘Terdampar’ di Simpang Lima Gumul Kediri.
Tidak ada komentar: