Tidak susah untuk menjumpai keadaan orang orang susah di sekeliling kita. Apalagi dalam kondisi indonesia yang seperti ini.
Tiga minggu yang lalu, dan selama hampir dua minggu saya menemukan hal itu setiap hari di jembatan penyeberangan halte setiabudi. Mungkin karena sedang berpuasa saya cukup lemas untuk naik turun jembatan itu. Tapi hari itu saya menjadi tambah lemas berjumpa dengan peminta-minta.
Mendapati seorang perempuan memakai jilbab yang lusuh berkulit gelap duduk dipojok jembatan dengan kaleng didepannya. Disebelah kirinya, anak laki-lakinya yang 4 tahunan menarik-narik bajunya dengan tangisan. Disebelah kanannya, anak laki-lakinya yang 1,5 tahunan menarik-narik penutup kepalanya dengan tangisan yang lemah. Pakaian kumal dan jilbab lusuhnya menjadi semakin tak beraturan.
Tapi, perempuan itu diam saja. Matanya tertuju ke angin kosong, sekosong kaleng sumbangan yang dihadapinya.
Tangisan kedua anak laki-lakinya tidak mengubah tatap matanya yang tetap kosong.
Jembatan pagi itu yang penuh lalu lalang dan lalu lintas yang semrawut, berisik, sangatlah tidak nyaman baginya. Juga bagi kedua buah hatinya, yang dekil, batuk-batuk dan mata sembab.
Saya yakin seorang ibu tidaklah akan tega menyaksikan buah hatinya merasakan 'derita' sedemikian. Tapi apalah daya. Kenyataan itulah yang terjadi. Keadaan darurat yang dirasakannya setiap hari, untuk menyambung hidup.
Apa yang dipikirkan oleh setiap orang yang lewat didepannya tentang pengemis itu?
Memandang hina? Orang yang kalah dalam kehidupan ini? Sampah masyarakat?
Mudahan kita tidak sampai hati untuk menilainya dengan hal yang seperti itu.
Apalagi kalau ternyata kita pun sering berada dalam keadaan darurat seperti mereka.
Darurat?
Inilah kata kunci yang sering kita pergunakan untuk menawar-nawar hukum Allah.
"habis bagaimana lagi, kalau nggak pakai pinjaman kredit yang riba-riba itu, uang nggak akan terkumpul juga".
"jadi, kapan beli rumahnya?".
"kapan, bisa beli mobil?".
"nggak apa-apalah, kan darurat?".
alhamdulillah sekarang yang darurat-darurat sudah semakin berkurang. Jadi, kayaknya kita nggak usahlah mendaruratkan diri sendiri. Apalagi kalau maunya cuman pingin ini pingin itu, truss jadi darurat, truss yang riba jadi halal.
BalasHapusnau'dzubillah min dzalik