Teramat susah membayangkan tegaknya masyarakat madani, apabila pilar-pilar pembentuknya rapuh. Keadilan pemimpin berganti kezhaliman penguasa. Puji dan do’a dari rakyat, berganti sumpah serapah dan caci maki.
Persis beberapa hari terakhir ini, dan sehari-harinya. Kerapuhan itu mencapai puncaknya. Warga tanpa pandang kasta, menyumpahi bang kumis sang pemimpin mereka yang telah berdusta berkepanjangan.
Masih sangat lekat dalam ingatan, ketika beberapa tahun yang lalu kesombongan itu menyeruak. Bak fir’aun menobatkan diri sebagai tuhan, maka bang kumis mengklaim dirinya sebagai sang ahli. Dibantu dengan aparat tukang sihirnya, bang kumis mengelabui jutaan manusia yang kemudian mentahbiskannya untuk menuntaskan syahwat kekuasaannya.
Kini, bagai sedang memandangi air didulang yang terpercik ke muka sendiri, dalam sebuah cermin yang retak. Tawa kemenangan berganti dengan nyengir keledai. Kebodohan kolektif yang menguatkan dalil bang kumis, bahwa ,’saya hanya menjalankan amanah yang diberikan masyarakat”. Apakah aksioma ini semakin terbukti kevalidannya : “Pemimpin mah, tergantung bagaimana yang dipimpinnya saja”.
“Kacau pak, kacau”, amran -- teman saya pegawai kantor pusat departemen kelautan, sedang memulai ceritanya. “Nggak ada program, Nggak terarah. syukurlah sekarang sudah diganti”. “beliau pindah ke perhubungan”.
Kesaksian Amran adalah kisah lain dari pincangnya pilar negara ini. Mungkin si menterinya lebih rendah hati, karena tidak pernah mengaku dirinya sebagai seorang ahli sebagaimana bang kumis. Pak menteri hanyalah korban dari matriks barat-timurnya SBY. Pak menteri berasal dari timur. SBY pun memandang pas pak menteri, sesuai matriks jawa-luar jawa, karena pak menteri berasal dari luar jawa.
Kisah pilu argo anggrek-senja utama, adalah ‘hasil karya’ bapak mantan menteri kelautan.
Kehancuran silih berganti seolah menunggu giliran. “Apabila sebuah urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”.
***
-- dalam himpitan macet yang menyengsarakan di negeri bang kumis.
Tidak ada komentar: