Mudah-mudahan rencana Sang Penanda yang merupakan kelanjutan dari kesuksesan Sang Pencerah, akan bisa segera direalisasikan. Sang Penanda akan mengisahkan tentang peri kehidupan KH Hasyim Asy’ari yang penuh dengan nilai-nilai perjuangan dan keteladanan. Apresiasi yang membanggakan untuk produk-produk film nasional, ditengah gencarnya Sang Kuntilanak, Tali Pocong Perawan atau Nyi Roro Kidul.
Sekilas dalam sebuah fragmen Sang Pencerah,
KH Ahmad Dahlan menyampaikan tentang perlunya sholat dengan menghadap kiblat yang tepat. Tetapi memang berdakwah tidak semudah memahamkan teori saja. Sehingga beliau akhirnya mendirikan musholla sendiri, sebagai tempat sholat dengan arah kiblat sesuai keyakinan beliau.
Sekilas tampak seperti film Sang Pencerah,
bulan Syawal kemarin Mbah Thoyib yang seorang kyai NU memberikan ‘pencerahannya’ kepada warga desa Pasucen,
karena perbedaan yang menajam di antara para jamaah Masjid Jami Pasucen. Permasalahannya sama, yaitu mencari arah kiblat yang tepat. Masing-masing memberikan pendapat yang didasarkan pada keilmuan yang diyakininya. Tetapi karena perseteruan pendapat itu mengarah kepada perpecahan, maka pasti kemudharatan yang ditimbulkannya sudah nampak.
Alhamdulillah, perbedaan itu bisa diselesaikan dengan ‘baik-baik’, melalui mediasi Mbah Thoyib.
Sekilas tentang pengikut Sang Pencerah,
karena mengalami beberapa keterbatasan dalam beraktivitas di Masjid Jami, maka sekelompok warga RT.03 berinisiatip mendirikan sendiri tempat ibadah yang lokasinya berada di RW.02. Awalnya warga sekitar menyebutnya sebagai musholla, tetapi di ‘prasasti’ nya saya mendapati tulisan ‘Masjid’.
Ada kesamaan tema dengan Sang Pencerah, yaitu masalah kiblat.
Musholla (atau masjid) itu lebih serong ke kiri dari kiblat yang lazim di komplek ini. Bahkan juga lebih serong ke kiri dari arah barat. Sehingga apabila sholat di musholla itu dengan posisi serong ke kanan, maka sesungguhnya seseorang baru menghadap ke arah barat. Akibatnya untuk benar-benar menghadap kiblat, maka harus menyerongkan haluan hampir 45 derajat. Tanpa penjelasan yang memuaskan, mengapa bangunannya dibuat dengan posisi seperti itu.
Beberapa jamaah mencoba memberikan ‘pencerah’ annya dengan memberikan arahan tentang kiblat yang lebih tepat. Tetapi takmirnya enggan untuk berubah haluan, selain hanya menyerong sedikit saja. Menjadi memperihatinkan dan terkadang mengundang senyum, ketika memperhatikan jamaah sholat yang berbeda-beda menghadap kiblatnya dalam satu musholla. Bahkan berbeda dengan kiblatnya imam. :)
Kok berbeda dengan misi Sang Pencerah ya ?
Hmm.. mungkin sekarang bukan lagi saatnya untuk sekedar mengaku saja sebagai pengikut Sang Pencerah, pengikut setia Sang Penanda atau penerus Sang Murabbi. Ada keyakinan dalam kebenaran, ada nilai perjuangan dalam tuntutan komitmen, dan beragam suri keteladanan dari para pendahulu ini. Yang karenanya peri kehidupan beliau-beliau itu pantas untuk di film kan.
“Cukuplah bagimu, engkau melihat orang-orang yang telah mati yang ketika sejarah hidupnya dipelajari hati menjadi hidup, sebagaimana ada pula manusia-manusia yang hidup diantara kita yang dengan melihatnya hati kita menjadi mati”
Ini lebih penting.
Bagi diri kita sebagai sosok ‘Sang Penerus’, walaupun tidak harus difilmkan.
:)
Sekilas dalam sebuah fragmen Sang Pencerah,
KH Ahmad Dahlan menyampaikan tentang perlunya sholat dengan menghadap kiblat yang tepat. Tetapi memang berdakwah tidak semudah memahamkan teori saja. Sehingga beliau akhirnya mendirikan musholla sendiri, sebagai tempat sholat dengan arah kiblat sesuai keyakinan beliau.
Sekilas tampak seperti film Sang Pencerah,
bulan Syawal kemarin Mbah Thoyib yang seorang kyai NU memberikan ‘pencerahannya’ kepada warga desa Pasucen,
karena perbedaan yang menajam di antara para jamaah Masjid Jami Pasucen. Permasalahannya sama, yaitu mencari arah kiblat yang tepat. Masing-masing memberikan pendapat yang didasarkan pada keilmuan yang diyakininya. Tetapi karena perseteruan pendapat itu mengarah kepada perpecahan, maka pasti kemudharatan yang ditimbulkannya sudah nampak.
Alhamdulillah, perbedaan itu bisa diselesaikan dengan ‘baik-baik’, melalui mediasi Mbah Thoyib.
Sekilas tentang pengikut Sang Pencerah,
karena mengalami beberapa keterbatasan dalam beraktivitas di Masjid Jami, maka sekelompok warga RT.03 berinisiatip mendirikan sendiri tempat ibadah yang lokasinya berada di RW.02. Awalnya warga sekitar menyebutnya sebagai musholla, tetapi di ‘prasasti’ nya saya mendapati tulisan ‘Masjid’.
Ada kesamaan tema dengan Sang Pencerah, yaitu masalah kiblat.
Musholla (atau masjid) itu lebih serong ke kiri dari kiblat yang lazim di komplek ini. Bahkan juga lebih serong ke kiri dari arah barat. Sehingga apabila sholat di musholla itu dengan posisi serong ke kanan, maka sesungguhnya seseorang baru menghadap ke arah barat. Akibatnya untuk benar-benar menghadap kiblat, maka harus menyerongkan haluan hampir 45 derajat. Tanpa penjelasan yang memuaskan, mengapa bangunannya dibuat dengan posisi seperti itu.
Beberapa jamaah mencoba memberikan ‘pencerah’ annya dengan memberikan arahan tentang kiblat yang lebih tepat. Tetapi takmirnya enggan untuk berubah haluan, selain hanya menyerong sedikit saja. Menjadi memperihatinkan dan terkadang mengundang senyum, ketika memperhatikan jamaah sholat yang berbeda-beda menghadap kiblatnya dalam satu musholla. Bahkan berbeda dengan kiblatnya imam. :)
Kok berbeda dengan misi Sang Pencerah ya ?
Hmm.. mungkin sekarang bukan lagi saatnya untuk sekedar mengaku saja sebagai pengikut Sang Pencerah, pengikut setia Sang Penanda atau penerus Sang Murabbi. Ada keyakinan dalam kebenaran, ada nilai perjuangan dalam tuntutan komitmen, dan beragam suri keteladanan dari para pendahulu ini. Yang karenanya peri kehidupan beliau-beliau itu pantas untuk di film kan.
“Cukuplah bagimu, engkau melihat orang-orang yang telah mati yang ketika sejarah hidupnya dipelajari hati menjadi hidup, sebagaimana ada pula manusia-manusia yang hidup diantara kita yang dengan melihatnya hati kita menjadi mati”
Ini lebih penting.
Bagi diri kita sebagai sosok ‘Sang Penerus’, walaupun tidak harus difilmkan.
:)
Sang Pencerah, Sang Penanda, Sang Murobbi, Sang …
Reviewed by anisvanjava
on
Oktober 11, 2010
Rating:
Tidak ada komentar: