Kehadiran listrik tidak selamanya dinikmati dengan suka cita, meski banyak hal saat ini sangat menggandalkan listrik. Listrik menjadi urat nadi kehidupan manusia. Mulai dari memasak nasi hingga men-charge gadget. AC yang nyala nyaris sehari semalam, kipas angin, pemanas air, setrika, kulkas, dispenser atau segala peralatan dapur. Televisi yang wajib hidup sehari-hari, dan permainan anak-anak yang membisingkan. Bila listrik mati, bagaimana dengan ikan di aquarium, makanan di kulkas, atau cucian yang menumpuk. Listrik mati, aktivitas terhenti.
Mungkin saja listrik berarti pencerahan, tetapi pada lain hal listrik identik dengan hingar bingar dan kegemerlapan yang menghamparkan perburuan dunia tiada henti. Bila sudah demikian maka kegundahan hati menghadirkan ketidaktenangan. Apakah listrik harus ditiadakan kembali? Mungkin saja iya bagi Pak Sun, kepala sekolah SMP saya dulu. Meski tidak untuk selamanya.
Beliau yang telah lama pensiun itu mengungkapkan keinginannya untuk mendapati wilayah yang belum ada listrik di sana. Beliau ingin tinggal di suatu desa yang bila malam tiba diterangi dengan rembulan. Sebagaimana yang beliau alami semasa kanak dulu. Kedamaian tanpa kebisingan.
Saat ini bila listrik padam baik karena pemadaman bergilir atau tidak, cobalah menikmatinya. Sejenak berhenti dari hingar bingar. Hadirkan perenungan dan introspeksi diri dalam ketenangan. Kita bisa menciptakan suasananya tanpa menunggu moment earth hour. Dan ternyata dalam beberapa hal, kita menggunakan listrik untuk sesuatu yang kurang perlu bahkan tidak perlu sama sekali.
Jadi ini bukan sekedar kemampuan untuk membayar rekening listrik, bila kehadiran listrik mengakibatkan kecanduan nonton televisi, ketagihan main playstation, atau suara musik yang mengganggu tetangga dan hal yang tidak berguna lainnya, sebaiknya padamkan saja.
Swissbel ManggaBesar #1809
Tidak ada komentar: