“Negeri apalah ini”, santoso memulai narasinya dalam perjalanan dari pontianak menuju sanggau.“Kita ini habis waktu buat pemilu saja. Kapan bisa bangun-bangun. Makanya jalan jelek nggak dibangun bangun. Penguasanya sibuk pilkada saja. Belum lagi kalau pilkadanya berlarut-larut. Tidak selesai putaran pertama. Dilanjutkan ke putaran kedua. Trus belum lagi kalau ada sengketa hasilnya. Nggak selesai-selesai lagi yang satunya banding.
Ada pembangunan yang belum selesai dari penguasa sebelumnya, tetapi ia kemudian diganti. Penggantinya tidak mau meneruskan program itu. Dibasminya semua peninggalan sebelumnya. Jadilah terbengkalai, karena ia memilih untuk bikin sesuatu yang baru yang beda. Kalau belum selesai juga ia sudah diganti, ya sudahlah sama nasibnya dengan pendahulunya. Kapan pembangunan di negeri ini selesai. Kita ini sibuk pemilu aja. Ini negeri pemilu”, kata santoso mendefinisikan sebuah negeri sebagai negeri pemilu.
Paragraf demi paragraf kalimat dengan lancar dituturkannya. Bagaikan ia telah siap untuk sidang skripsi. Entah lulusan apakah ia. Sore itu ilmu sosial politik dikupasnya. Pendapatnya tentang pergantian kekuasaan mengingatkanku kembali kepada orde-orde yang bergulir silih berganti. Apa yang dilakukan orde baru terhadap orde lama, begitu pula apakah yang diperbuat orde reformasi terhadap orde baru ?
“Makanan di sini pun kalah kualitas sama negeri sebelah. Minumannya mereknya sama tapi kualitasnya beda. Makanya orang sini pada milih membeli susu merek yang sama tapi produksi negara tetangga. Rasanya beda. Kalau nanti di sanggau banyak yang jual, cari aja kalau mau nyoba. Tapi kalau di pontianak susah di cari. Nggak boleh masuk ke sana. Susu, biskuit dan gas buatan kita nggak laku di sini. Harganya sama, tapi barangnya beda. Gas lebih aman. Mana ada cerita tabung meledak. Kalau tabung kita tinggal tunggu waktu aja meledaknya. Tabungnya jelek-jelek. Apalah negeri ini”, santoso memaparkan perihal kualitas produk sebuah negeri.
Sanggau memang berbatasan dengan negara tetangga. Bis lintas negara lalu lalang di jalanan ini. Mungkin itu pulalah produk-produk dari luar juga lalu lalang ke wilayah ini, seperti yang di ceritakan santoso. Sesekali ia menunjuk ke tanda-tanda jalan dan memberikan penjelasan. “Nah, dari sini satu setengah jam ke entikong”, katanya.
“Saya pernah ke sana. Beli daging dari sana, saya jual ke sini. Di sana daging-daging lebih murah. Sekilo di sini dijual 80 ribu, saya bisa dapat 20 ribu. Saya jual 40 ribu sudah untung besar dan laku keras di pasar. Sudah empat tahun saya bawa mobil sendiri ngangkut daging. Kemarin saya kena larangan jualan daging di sini. Kata petugas tidak boleh berjualan daging impor di sini. Tapi mereka bohong. Nggak ngliat kalau di toko-toko itu juga mereka menjual daging impor. Ini semata-mata persaingan bisnis saja, makanya saya di larang. Setelah dilarang, saya mulai jadi sopir travel ini”, santoso kecewa dengan perlakuan petugas.
Hmm.. Apakah memang keseluruhan tema pembicaran santoso yang keturunan jawa ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan terhadap bisnisnya itu?
Tak tahulah aku.
Grand Narita Sanggau Room 101.
awal ramadhan 1433 H.
awal ramadhan 1433 H.
Negeri Apalah Ini
Reviewed by anisvanjava
on
Juli 29, 2012
Rating:
Tidak ada komentar: